Perjalanan hidup manusia tidak selalu sesuai dengan harapan yang diinginkan atau direncanakan. Apa yang sudah dipersiapkan dan direncanakan seringkali berbeda dengan kenyataan yang dihadapi.
Hidup kita sangat terbuka dengan dinamika kehidupan. Ada jalan berliku, jalan yang halus dan terjal, jalan mendaki dan menurun. Berbagai jenis jalanan itu terkadang membuat kita harus jatuh dan bangun saat menjalaninya. Bagi sebagian orang, realita dinamika kehidupan seperti ini seringkali kurang disadari bahkan kurang dapat diterima. Akibatnya, orang merasa frustasi, sulit menerima kenyataan, dan mulai marah serta mempersalahkan orang lain. Tidak jarang pula, orang bahkan mempersalahkan Tuhan sendiri.
Dinamika kehidupan ada yang menghadirkan air mata dan ada juga yang menghadirkan senyuman. Dalam air mata, terselip doa, pengorbanan, dan senyuman keberhasilan yang meninggalkan aneka warna jejak.
Kegembiraan dan kesedihan bagaikan dua roda kehidupan yang berada di kiri dan di kanan, saling berdampingan. Kedua tampak serasi dan selalu sejalan beriringan. Hidup manusia juga seperti roda yang berputar, kadang ada bagian harus di atas, tapi terkadang harus berada di bawah. Bila diperlukan, harus menghadapi lumpur dan kotoran. Ketika berada di atas tentu tidak perlu merasakan tekanan kendaraan yang berat atau mengalami kotor dan bau. Ketika berada di bawah, tidak jarang, perasaan terlalu lama berada "di bawah", ratapan dan keputusasaan dalam mencari jalan keluar atas persoalan hidup terasa begitu berat. Harapannya hanya satu, yaitu segera beralih ke atas.
Belajar dari Sebuah KisahÂ
Harapan atas sesuatu tampaknya menuntut satu hal yaitu tidak menyerah. Saya teringat sebuah kisah tentang dua orang buta yang hidup susah dan menderita. Keduanya pergi mengikuti seorang tabib terkenal yang terkenal baik hati sambil berseru-seru. Karena merasa kasihan dan melihat kesungguhan hati kedua orang buta itu, sang tabib  pun menyembuhkannya.
Refleksi
Rasanya sulit membayangkan jika melihat dua orang buta saling menuntun dalam kondisi yang sama. Tetapi, kisah ini memberi pesan tersendiri tentang perlunya berusaha. Kedua orang buta itu menunjukkan usaha. Saya menyebutnya 'aktif', yaitu menggerakkan hati dan langkahnya untuk mengikuti sang tabib. Usaha yang dilakukan kedua orang buta itu bukan hal yang mudah karena memerlukan perjuangan. Mereka tidak diam saja, tidak duduk-duduk saja di pinggir jalan, dan tidak bertahan untuk menanti belas kasihan orang.
Saya mencoba memahami pesan dalam kisah orang buta itu. Tindakan 'mengikuti' seolah menyiratkan pesan untuk bergerak aktif. Tindakan 'berseru' seolah menggambarkan keterbatasan, ketergantungan, kebutuhan manusiawi. Memang, dalam menghadapi dinamika kehidupan, dua kata ini tampak sulit dibedakan, yaitu menyerah dan berserah.
Menyerah bersifat pasif, tanpa usaha, dan kita kalah. Masa depan dilihat hanya sebagai kegagalan dan kegelapan. Bagai ikan di dalam gelas yang hanya bisa berputar-putar. Ketika menyerah, manusia secara tidak langsung menampilkan diri sebagai satu-satunya yang melakukan sesuatu. Ia menyandarkan kekuatannya sendiri dan kurang menyadari keterbatasan yang melekat pada dirinya. Akibatnya, ia tidak merasa tergantung dan membutuhkan Tuhan.
Berserah bersifat aktif, terus berusaha, dan melihat masa depan sebagai titik terang yang mau dicapai, meski saat ini, cahaya itu masih tampak samar. Manusia berserah karena dia percaya dalam imannya. Iman memberi kekuatan rahmat dalam dirinya untuk meyakini bahwa ada kuasa yang melebihi kekuatannya dan kekuatan dunia yang menakutkan. Orang beriman percaya bahwa kekuatan itu berasal dari Dia, Sang Mahabesar.***(ks)