Mohon tunggu...
Krismas Situmorang
Krismas Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Freelancer Writer, Indonesian Blogger

Observer of Social Interaction, Catechist in the Parish.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup dalam Penderitaan: Takabur atau Bersyukur?

6 Maret 2021   16:11 Diperbarui: 6 Maret 2021   16:24 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa disadari, sikap sedih berkepanjangan telah membawa manusia pada kesombongan itu. Manusia seolah tidak menerima kenyataan bahwa ia harus melalui tantangan atau persoalan itu dengan kebesaran hati. Bukankah, sejak lama Dia telah berpesan agar manusia menyerahkan segala kehawatiran itu dalam kepasrahan kepada-Nya.

Sayangnya, manusia seringkali bersembunyi dalam sisi kemanusiawiannya itu. Mereka membela diri dengan mengatakan: “bukankah wajar saya merasa bersedih dan marah?” Tentu saja, tidak ada seorang pun yang melarang seseorang untuk merasa sedih, marah atau perasaan lainnya.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kepasrahan sebagai manusia ciptaan kepada Pencipta-Nya itulah yang dituntut dari setiap insan yang beriman. Iman yang teguh kepada Sang Pencipta, seharusnya menjadi tameng yang memperkuat diri menghadapi persoalan dan tantangan yang menghadang. Bukan sebaliknya, berteriak histeris, menangis meraung-raung dan merasa sebagai orang paling menderita. Sikap demikian menunjukkan diri sebagai seseorang yang tidak mengenal Tuhan.

Sikap histeris, tangisan meraung-raung dan perasaan sebagai penderita merupakan gambaran penolakan, protes dan penghakiman terhadap Sang Pencipta. Manusia seperti itu tidak bersedia menerima dirinya apa adanya pada saat itu. Biasanya, muncul tuntutan kepada-Nya, ”Mengapa hal ini harus terjadi pada saya?”

Tanpa disadari, manusia sedang menampilkan kesombongannya di hadapan-Nya. Manusia hanya mampu menuntut sesuatu untuk dirinya sendiri. Di mana penghayatan iman manusia kepada Sang Pemilik Kehidupan?. Sebuah penghayatan iman, seyogyanya menunjukkan suatu kepasrahan diri bahwa Dia akan selalu menyertai umat-Nya.

Mungkin, pada bagian ini, banyak orang belum sampai pada penghayatan yang mendalam mengenai konsep kepasrahan kepada Sang Pemilik Kehidupan. Apa yang diyakini seseorang sebagai iman, mungkin dapat dikatakan masih berada pada tatar terluar pemahaman mereka ketika mereka gagal bersikap ketika menghadapi persoalan.

Bersyukur Sebagai Ungkapan Iman

Para orang tua dahulu sering kali mengajarkan anak-anaknya agar mampu beryukur atas apa yang mereka alami dan terima. Tentu saja ini nasehat yang baik. Namun, kata “syukur” seringkali dianggap sebagai milik orang suci. Nasihat untuk bersyukur kurang atau bahkan tidak dipahami sepenuhnya sehingga dianggap angin lalu saja, bagai angin sepoi-sepoi yang menyapu kulit dan berlalu begitu saja.

Sikap syukur menyiratkan sebuah tindakan menerima keadaan apa adanya sebagai bagian dari rencana-Nya. Tindakan ini disertai upaya untuk keluar dari zona persoalan dengan cara yang bijak seraya memohon kekuatan dari-Nya.

Sebagai pribadi, penulis meyakini bahwa langit tidak selalu biru, dan jalanan tidak selalu rata. Kehidupan pun tidak selalu berjalan mulus. Satu yang pasti telah diyakinkan-Nya bahwa Dia akan selalu menyertai manusia dalam kehidupannya sampai akhir hayatnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun