Mohon tunggu...
Krismas Situmorang
Krismas Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger Indonesia

Teacher, Freelancer Writer

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Melesat Bagai Anak Panah

20 Desember 2020   22:55 Diperbarui: 20 Desember 2020   23:08 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan penikmat fanatik suatu genre film. Apapun jenisnya, saya akan menontonnya dengan penuh perhatian. Bagi saya, masing-masing film memiliki kekhasannya.

Suatu hari, sepulang mengajar di sekolah, saya menyalakan televisi di dapur sambil menikmati secangkir kopi pahit dan tiga potong risol mayonnaise buatan istri saya. Pilihan channel televisi saya hentikan pada sebuah tayangan film kolosal dari dari luar negeri.

Secuplik Cerita 

Ingatan saya masih jelas merekam adegan seseorang ketika menarik tali busur panah bersama anak panahnya. Ia tidak tampak membidik sasaran apapun. Saya berpikir, betapa hebatnya tokoh ini.

Tak lama, anak panah itu dilepas dan melesat jauh menemui sasarannya. Adegan beralih pada sebuah gambar dimana seseorang terbaring kesakitan sambil memegang sebuah anak panah yang tertancap di dadanya.

Saya terkejut dan kagum sambil memuji si pemanah yang mampu mengarahkan anak panah ke sasarannya dengan tepat.  Semula saya mengira seseorang itu adalah musuh si pemanah. Ternyata, si pemanah pun terkejut melihat orang yang menjadi sasaran anak panahnya itu.

Dugaan saya benar, si pemanah telah salah sasaran. Ternyata, ia tidak bermaksud memanah orang tersebut. Tapi apa hendak dikata, semuanya sudah terlanjur terjadi. Orang tersebut kemudian tak tertolong dan meninggal.

Orang yang meninggal itu ternyata putra sepasang suami isteri yang sudah sangat tua dan keduanya buta. Sang putra ketika itu sedang mencari air untuk diberikan sebagai air minum bagi kedua orangtuanya itu. Betapa malangnya nasib kedua orang tua itu kini.

Menilik Adonan 

 Seorang ksatria pemanah biasanya merupakan orang yang memiliki daya fokus dan keahlian yang mumpuni. Ia mampu menguasai pikirannya dan berkonsentrasi pada sasarannya dengan baik. Mereka umumnya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Cuplikan peristiwa dalam film tadi menunjukkan bahwa ciri-ciri ksatria pemanah tidak tampak dalam tokoh pemanah tadi. Mungkin saja si pemanah tidak sedang ingin memanah sehingga ia terkesan asal-asalan.

Tapi, akibat yang ditimbulkannya sungguh sangat berat hingga menghilangkan nyawa manusia. Tidak hanya itu, ada penderitaan yang dialami orang lain yang masih hidup karena relasi yang terputus.

Insight

 Apa yang terjadi dalam kisah di atas, juga biasa terjadi dalam kehidupan manusia umumnya. Orang seringkali melakukan tindakan tanpa berpikir dengan cermat tentang berbagai hal sebelum melakukan sesuatu.

Contoh sederhana yang mirip dengan kisah di atas adalah tindakan dalam hal berkata-kata. Kata-kata dapat dianalogikan dengan anak panah dan muiut dapat dianalogikan dengan busur.

Kata-kata seringkali mudah terucap dari mulut seseorang tanpa kendali. Pikiran pun berada dalam posisi bebas kendali. Tak jarang, kata-kata yang melesat dan sampai kepada orang lain menjadi "batu sandungan." Kata-kata yang diluncurkan tanpa berpikir terlebih dahulu dapat menyakiti orang yang dituju.

Baik panah ataupun kata akan sulit dikendalikan jika sudah terlepas. Ia akan melesat cepat untuk mencapai tujuannya dan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan obyek yang dituju.

Refleksi

Orang bijak mengatakan, "Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna." Peribahasa ini memilik arti yaitu jika ingin melakukan atau mengerjakan sesuatu, sebaiknya mempertimbangkan dulu baik buruknya.

Sungguh tepat peribahasa itu bila disandingkan dengan insight yang diperoleh. Sulit menarik kata-kata atau anak panah yang sudah dilepaskan. Maka, pikiran harus difokuskan pada tujuan dan akibat yang mungkin akan terjadi.

Tentu tidak ada ruginya bila mempertimbangkan segala sesuatu dengan baik dan memperhitungkan baik buruknya. Semoga kisah di atas memberi pengetahuan berharga dan menyegarkan nasihat yang kita terima dari para orangtua.

Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun