Pekan lalu, ada dua hal penting (bagi saya) soal kelangsungan produk cetak. Pertama, News Week terbit untuk terakhir kali pada 31 Desember 2012. Majalah mingguan itu akan sepenuhnya beralih ke internet.
Kedua, kunjungan ke toko Gunung Agung di kawasan Senen, Jakarta. Terakhir saya berkunjung ke sana tahun 2010 dan tokonya masih besar. Namun, kunjungan pada Kamis (3/1/2013) siang sungguh mengejutkan. Toko itu hanya tersisa 1,5 lantai. (Saya berharap sedang direnovasi atau dipindah ke tempat lebih besar).
Jika harapan saya tidak sesuai kenyataan, maka mungkin apa yang terjadi dengan Gunung Agung berkaitan dengan News Week : era produk cetak segera berakhir.
Dengan semakin banyak sabak eletronik dan buku digital yang lebih ringkas, wajar orang tidak lagi membawa-bawa buku cetak. Tak hanya buku, sebagian media cetak di Indonesia sudah membuat versi digital produk mereka. Harga jual versi digital lebih murah dibandingkan versi cetak.
Semua hal tadi, kembali mendengungkan pertanyaan yang sudah terulang sejak radio menjadi barang massal : akankan media cetak segera berakhir?
Saya mencoba menghibur diri dengan membaca ulang artikel Amir Effendi Siregar di Kompas, 5 September 2009. Menurut Amir, nafas media cetak di Indonesia masih panjang. Sebab, kondisi di sini berbeda dengan di Amerika Serikat.
Di AS, sejumlah perusahaan media bangkrut bukan karena kehilangan pembaca atau penurunan tiras. Amir menulis, Philadelphia Inquirer bangkrut saat tirasnya 300.674 eksemplar. The Minneapolis Star berhenti saat tiras 300.000, akan terbit dalam bentuk digital. Seattle Post Intelligencer berhenti saat tiras 117.600 dan exit strategy-nya terbit digital (mirip langkah beberapa media lain).
Perusahaan-perusahaan media, dalam telaah Amir, bangkrut karena faktor lain. Beberapa perusahaan besar, termasuk media cetak, lebih banyak memperdagangkan saham, uang, dan memperdagangkan perusahaan. Perusahaan media cetak tidak lagi memperdagangkan surat kabar dan ruang (space) media, tetapi memperdagangkan saham, melakukan akuisisi, jual beli perusahaan dan harapan. Semua ini membuat perusahaan menjadi "bengkak", menjadikan biaya rutin dan utang kian besar, yang berdampak kebangkrutan.
Beberapa perusahaan media di Indonesia, sayangnya, melakukan hal-hal yang dikhawatirkan Amir. Ada perusahaan media di bawah grup supermarket, bank, dan taman hiburan. Ada perusahaan media sibuk menjadi alat kampanye dan perusahaan yang terafiliasi dengannya sibuk jualan saham.
Jadi, bagaimana petinggi perusahaan media mau berpikir memajukan media kalau lebih sibuk membangun hotel dan jalan tol?....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H