Jika tak pernah hidup susah, selalu hidup nyaman, memang tak mudah memahami apa yang dilakukan sondang hutagalung. Apalagi, jika sudah menikmati nyamannya di sekitar kekuasaan.
Seorang teman, bertahun-tahun tinggal di Sidoarjo. Berkali-kali pula bercakap dengan korban lumpur Lapindo. Namun, tetap saja teman itu jengkel jika para korban berunjuk rasa dan menutup jalan raya Porong.
Teman itu tak sendiri. Ada banyak orang jengkel tiap kali korban lumpur berunjuk rasa. Mereka tetap marah pada korban lumpur, walau tahu unjuk rasa itu karena membela hak. Terakhir, mereka menutup jalan Porong setelah PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menunggak cicilan delapan bulan.
Siapa tak kesal kalau begitu. Rumah dan harta habis direndam lumpur. Cicilan ganti rugi terlambat berbulan-bulan. Ditambah lagi kepala daerah yang lebih sering jadi juru bicara perusahaan dibandingkan pengayom masyarakat.
Tetapi, teman saya dan banyak orang lain tetap tak mau pahami kekesalan itu. Mereka hanya marah karena jalan terganggu.
Melihat kekesalan pada unjuk rasa korban Lapindo, saya bisa mengerti banyak orang yang justru mencemooh Sondang Hutagalung. Sondang, mahasiswa Universitas Bung Karno, membakar dirinya di depan istana, Rabu (7/12/2011).
Beberapa jam setelah aksi Sondang, banyak orang menuding aksi di depan istana itu hanya tindakan orang gila dan tak bermotif Media massa juga nyaris tak bahas itu. Lebih sibuk bahas gosip tak penting.
Saat diketahui aksi itu dilakukan demonstran yang konsisten, kesinisan tak kunjung reda. Tak kurang orang-orang berpendidikan pasca sarjana mencemooh sondang sok, konyol, dan perbuatannya sia-sia.
sinisme makin menyeruak saat Sondang akhirnya wafat, sabtu (10/12/2011) pukul 17.45. Banyak yang secara terbuka menuding anak sopir taksi itu mati konyol.
Saya bukan hendak bermain logika binarial. Tak pula hendak menyatakan paling bersih, bermoral, peduli. Saya hanya bisa berkata, tak mudah memahami sondang kalau melihatnya dari kursi empuk. Bukan dari lantai kontrakan yang setiap saat digedor pemilik karena telat bayar sewa.
Sulit memahami sondang kalau dari dalam mobil miliaran rupiah (yang entah darimana asal uang untuk membelinya). Bukan dari belakan gerobak jualan yang didorong keliling kampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H