Pada mulanya dinyatakan peserta jaminan kesehatan dalam SJSN yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan yang diberikan berdasarkan kelas standar (UU No 40/2004 tentang SJSN, Pasal 23 ayat 4).
Tidak ada perbedaan kelas perawatan untuk peserta yang membayar iuran lebih tinggi atau lebih rendah maupun penduduk miskin yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Semua sama, yaitu kelas standar. Selaras ketetapan bahwa penyelenggaraan jaminan kesehatan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas (Pasal 19 ayat 1).
Tetapi ketentuan kelas standar tidak dilaksanakan dan diganti menjadi kelas III, kelas II dan Kelas I (Perpres 12/2013 Pasal 23). Peserta yang membayar lebih tinggi menerima manfaat akomodasi perawatan kelas lebih tinggi, yang tarifnya tentu juga lebih tinggi. Tentu menjadi tanda tanya karena menyimpang dari prinsip kegotong-royongan dan prinsip asuransi sosial jaminan kesehatan seperti yang diamanatkan oleh UU.
SJSN diselenggarakan berdasarkan pada prinsip kegotong-royongan (UU 40/2004 Pasal 4 huruf a), yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (Pasal 4, Penjelasan). Â
Peserta yang kaya dan karena itu harus membayar iuran lebih besar seyogyanya dapat memberi subsidi kepada yang miskin. Tetapi karena manfaat akomodasi perawatan untuk peserta yang kaya mendapat kelas lebih tinggi yang tentunya lebih mahal, maka prinsip kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin menjadi semu dan rancu.
Penyelenggaraan program jaminan kesehatan berdasarkan prinsip asuransisosial dan prinsip ekuitas berbeda dari asuransi komersial yang menawarkan manfaat akomodasi lebih baik dengan membayar premi lebih tinggi.
Beberapa peserta yang kaya mungkin kurang berkenan bila di rawat di kelas standar yang tidak berbeda dengan yang kurang mampu atau miskin. Preferensi individual terkait status sosial dan ekonomi dapat dipahami. Bagi peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan (Pasal 23 ayat 4, Penjelasan).
Dengan adanya tarif INA-CBGs untuk setiap kelas telah memudahkan bagi peserta yang dirawat untuk membayar sendiri selisih biaya, bila memilih kelas lebih tinggi dari kelas standar. Jadi premi lebih tinggi bagi yang mampu tidak untuk membayar tarif kamar yang lebih mahal, selaras prinsip kegotong-royongan.
Mengapa ketetapan UU 40/2004 tersebut tidak dilaksanakan, konon karena dicari di lapangan tidak ada yang namanya kelas standar, yang ada kelas I, kelas II, kelas III, dan VIP. Dipertanyakan bila harus menyusun norma standar, kelas standar itu apa kriterianya? Apakah harus nol angka nosokomial-nya, ruangannya itu minimal kipas angin atau AC dan sebagainya, yang harus diatur secara standar. Tapi kenyataannya adalah yang ada itu memang kelas, sehingga ini yang harus disesuaikan (DPR, 2015).
Penyusun naskah akademik UU SJSN pasti memahami apa yang dimaksud dengan kelas standar dan pelaksanaannya di lapangan, serta bagaimana maksud dan tujuan dari prinsip kegotongroyongan, prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas terlaksana secara harmoni. Tak ada cukup alasan untuk meremehkan ketentuan kelas standar, untuk dijelaskan karena tidak ada yang namanya ‘kelas standar’ di lapangan.
Tidak memahami yang dimaksud dengan kelas standar, semi-privat dan privat. Ada rumah sakit menamai blok dan kamar dengan Melati, Mawar, Anggrek atau lainnya. Perumusan norma dan kriteria kelas standar dan pengaturannya tentu tidak berbeda dan tidak lebih sulit dari yang dilaksanakan selama ini untuk kelas III, kelas II dan kelas I di seluruh negeri.
Maksud dan tujuan ditetapkan semua peserta program jaminan kesehatan mempunyai hak sama yaitu kelas standar adalah untuk menegakkan prinsip asuransi sosial dan prinsip kegotong-royongan Â
Koridor kebijakan tentang manfaat akomodasi yang ditentukan berdasarkan skala besaran iuran yang dibayarkan harus ditutup karena menyimpang dari ketetapan UU. Jangan berfokus mencari dampaknya bila celah tersebut ditutup, tetapi apa akibatnya bila penyimpangan itu dibiarkan. Berbagai akibat sampingan dapat menjadi daftar panjang, yang hanya dapat dibenahi bila penyebab mendasar siap diperbaiki.
Walaupun menyisakan tanda tanya besar dan berpotensi menimbulkan kesalahan pemahaman tentang prinsip asuransi sosial, prinsip kegotong-royongan dan prinsip ekuitas, semoga penyimpangan ini segera ditindaklanjuti, agar tidak berkepanjangan dan menjadi makin kompleks. Bagaimana memperbaikinya? Perlu kerendahan hati dan keberanian…
Masa depan program JKN tentu tidak akan dipertaruhkan demi kepentingan siapapun. Keberhasilan program JKN menjadi tantangan bagi jajaran pemerintahan terkait, dan semua komponen bangsa, terutama rakyat sebagai pemangku kepentingan terdepan.
Salam hormat jabat erat, Kris Kirana
#AdvokasiJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H