Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Raport Hijau vs Defisit BPJS Kesehatan...

28 Juli 2015   15:32 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:51 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara siaran Pers bahwa BPJS Kesehatan mendapat raport hijau dan berita terjadi defisit dapat menimbulkan tanda tanya.

BPJS Kesehatan 2014 mendapat raport hijau dari UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), dari hasil evaluasi pada lima indikator yaitu: (1) jumlah kepesertaan; (2) terselesaikannya Draft Revisi PP No.101/2012 tentang PBI; (3) waktu penyelesaian pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan; (4) sosialisasi kepada masyarakat; dan (5) upaya penanganan keluhan pelanggan.

Kemudian diberitakan BPJS Kesehatan mengalami defisit tahun 2014 sebesar Rp3,3 triliun dan potensi defisit tahun 2015 yang diperkirakan mencapai Rp11 triliun, lebih dari tiga kali lipat defisit tahun 2014.

Hingga 31 Desember pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pelayanan kesehatan mencapai Rp42,65 triliun, sedangkan pendapatan dari iuran peserta sebesar Rp40,72 triliun, sebelum dikurangi dana operasional. Dana operasional BPJS Kesehatan ditetapkan sebesar 6,47% untuk tahun 2015 (Permenkeu No.245/PMK.02/2014, 24/12/2014).

Konon terjadi defisit karena sebagian besar peserta mandiri baru mendaftar ketika sakit, selain dipicu oleh moral hazard sekelompok masyarakat mampu yang memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan karena ingin mendapat keuntungan.

Peserta mandiri adalah kelompok peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau juga disebut pekerja mandiri, yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, berusaha sendiri, yang umumnya bekerja di sektor ekonomi informal. Kewajiban mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan bagi PBPU paling lambat tanggal 1 Januari 2019, tetapi tentu diperbolehkan mendaftar lebih awal.

Diberitakan, sebagian besar calon peserta mandiri baru mendaftar ketika sakit, selain banyak yang mangkir membayar iuran. Di Medan pernah tercatat 90% peserta mandiri yang sakit, dan di Pekanbaru peserta mandiri yang menunggak pernah mencapai 50% . Padahal BPJS Kesehatan tetap membayar kapitasi kepada fasilitas kesehatan primer setidaknya sampai kepesertaan hangus.

Rasio klaim peserta mandiri per Agustus 2014 mencapai 1.380%, kemudian turun menjadi 600% pada Desember 2014. Angka yang mencemaskan. Berapa rerata rasio klaim dan besaran nilai penerimaan iuran versus pembayaran klaim tahun 2014 untuk kelompok peserta PBPU (mandiri) dan perbandingan dengan kelompok peserta lainnya?

PREMI PESERTA PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI)

BPJS Kesehatan minta Pemerintah menaikkan iuran peserta PBI dari Rp19.225 menjadi Rp27.500 - Rp 40.000 per orang per bulan. Per Januari 2015 tercatat 95,29 juta peserta PBI atau 70,22% dari total 135,7 juta peserta BPJS Kesehatan. Berdasarkan jumlah peserta PBI sebesar 95,29 juta orang dan premi Rp19.225 per orang per bulan, maka proyeksi APBN/APBD tahun 2015 adalah sebesar Rp21,983 triliun.

Bila premi dinaikkan 43% menjadi Rp27.500 per peserta per bulan maka proyeksi anggaran mencapai Rp31,446 triliun per tahun. Bila dinaikkan 108% menjadi Rp40.000 per peserta per bulan maka proyeksi anggaran mencapai Rp45,739 triliun per tahun.

Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Laksono Trisnantoro menyampaikan studi kasus di mana klaim untuk PBI terealisasi 90% sedangkan untuk peserta mandiri terealisasi hampir 300%; sehingga memicu kekhawatiran terjadinya subsidi silang yang terbalik di mana yang miskin justru memberikan subsidi untuk yang kaya. Laksono mengusulkan dibentuknya kompartemen-kompartemen di dalam pool BPJS guna mencegah kebocoran alokasi untuk si miskin ke si kaya.

Banyak negara berusaha sekuat tenaga untuk memberikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, tetapi Indonesia telah mencakup hampir semua penduduk paling rentan sebelum program JKN dimulai. Sebuah kondisi yang kondusif bagi program JKN untuk mencapai tujuannya cakupan universal (universal health coverage: UHC), Indonesia Sehat.

Perjalanan panjang perjuangan membangun dan mengembangkan program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin yang telah dirintis dan diperjuangkan sejak tahun 1998 seyogyanya diperhatikan dan perlu dijaga agar tidak terguncang, termasuk ketika BPJS Kesehatan menghadapi masalah yang kompleks.

PREMI PESERTA PEKERJA PENERIMA UPAH

Untuk pekerja penerima upah (PPU), BPJS Kesehatan mengusulkan pengali pendapatan tidak kena pajak (PTKP) diubah dari 2 kali menjadi antara 5 - 7 kali PTKP, tetapi saat ini dibahas 3 kali PTKP, selain itu juga diusulkan ada batas bawah iuran peserta PPU yaitu 4,5% kali upah minimum tiap daerah.

Pemerintah baru saja meluncurkan kebijakan penyesuaian besaran PTKP dari sebelumnya sebesar Rp24,3 juta menjadi sebesar Rp36 juta, dan tambahan Rp3 juta untuk setiap tanggungan (Permenkeu No.122/PMK.010/2015, 8 Juli 2015).

Iuran jaminan kesehatan bagi peserta PPU (selain Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri mulai 1 Juli 2015) adalah sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan, dengan ketentuan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh pekerja. Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan sebagai dasar perhitungan besaran iuran adalah 2 kali PTKP status kawin dengan satu orang anak (PTKP K-1).

Untuk usulan 3 kali PTKP K-1 (istri tidak bekerja) yaitu 3 x (Rp36 juta + Rp 3 juta + Rp3 juta) = 3 x Rp42 juta = Rp126 juta per tahun atau Rp10,5 juta per bulan, maka iuran sebesar 5% dari 3 kali PTKP K-1 adalah sebesar Rp525.000 per pekerja bulan. Untuk usulan 5 kali PTKP K-1 maka iuran sebesar Rp875.000 per pekerja per bulan. Untuk usulan 7 kali PTKP K-1 maka iuran mencapai Rp1.225.000 per pekerja per bulan. Kalangan pengusaha dan pekerja tampaknya akan keberatan dengan usulan tersebut.

TANTANGAN MASA DEPAN JKN

Masih banyak masalah yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan dalam fungsinya untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, diantaranya termasuk tiga isu utama dalam MOU antara BPJS Kesehatan dan DPN Apindo yaitu: ketidaksiapan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP); coordination of benefit (COB); dan hal-hal lain untuk menjamin tingkat pelayanan yang baik bagi Peserta.

Ketidaksiapan FKTP bukan hanya terkait dengan distribusi dan aksesibilitas, tetapi juga harus mengutamakan kesiapan untuk menyelenggarakan pelayanan terintegrasi yang mengutamakan pasien (people-centred integrated care).

Kementerian Kesehatan menilai pelayanan primer. yang kuat masih menjadi masalah besar di Indonesia. Penguatan pelayanan primer akan memperbaiki dan memperkuat sistem rujukan berjenjang, yang tentu saja akan berdampak langsung pada pelaksanaan JKN.

Dketahui bahwa program JKN bertujuan untuk mewujudkan cakupan universal. Cakupan universal bisa menjadi janji kosong bila tidak berfokus pada penyediaan pelayanan yang berkualitas.  Cakupan universal tidak akan tercapai tanpa penguatan sistem kesehatan, di tingkat lokal, kabupaten, melalui penguatan sistem kesehatan yang berbasis pelayanan kesehatan primer.

Kompleks mediko-industrial pelayanan kesehatan telah menyeret arah kebijakan dan prioritas rasional menyimpang jauh dari arah yang diharapkan. Pelayanan cenderung berfokus pada pelayanan spesialis dan subspesialis yang disebut “hospital-centrism”; terjadi fragemntasi dan komersialisasi pelayanan kesehatan. Hospital-centrism akan mendorong peningkatan biaya kesehatan akibat pemborosan, penyalahgunaan, dan fraud dalam sistem pelayanan kesehatan.

Masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan umumnya tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan berbagai aspek yaitu aspek kepesertaan; aspek manfaat dan iuran; aspek pelayanan kesehatan; aspek keuangan; serta aspek kelembagaan dan organisasi.

Masalah pada aspek keuangan sangat terkait dengan aspek-aspek lainnya, sehingga perlu dievaluasi sebagai kesatuan sistem kesehatan, bukan partial. Menurut Guru Besar Universitas Gadjah Mada yang juga mantan Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, kenaikan iuran sebetulnya tidak akan menjawab atau menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan program JKN, karena memang masalahnya terlalu komplek, jadi harus dievalusi secara menyeluruh.

Keterbatasan sudut pandang pada evaluasi secara parsial dan statis terhadap masalah yang kompleks dapat menghasilkan rekomendasi solusi yang berbeda. Maka perlu dilakukan evaluasi sebagai kesatuan sistem kesehatan agar diperoleh gambaran faktual secara utuh dalam dinamika kontinuum. Ketika masalah makin kompleks dan sulit diselesaikan, ketika terjadi efek yang non-linear dan respons tak terduga, maka sangat sulit merancang intervensi kebijakan yang efektif.

Dalam rapat terbatas mengenai pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di kantor Presiden, 27 Februari 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan menemukan dan melihat sendiri banyak masalah di lapangan terkait pelaksanaan BPJS Kesehatan. Presiden juga sudah mendengar potensi masalah likuiditas dan solvabilitas BPJS Kesehatan. Presiden ingin mengetahui penyebabnya, bagaimana menyelesaikan masalah-masalah dilapangan tersebut, menyempurnakan regulasinya hingga masalah likuiditasnya.

Pertanyaan ini mencakup hampir seluruh aspek kegiatan penyelenggaraan jaminan kesehatan. Walau tidak mudah dijawab tetapi harus direspons, demi masa depan program JKN untuk mewujudkan cakupan universal, Indonesia Sehat.

Perjuangan untuk meraih masa depan program JKN yang sukses bukan hanya tugas dan tanggung jawab BPJS Kesehatan, atau Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), atau Kementerian Kesehatan, tetapi kewajiban bersama. Upaya memperkuat sistem kesehatan adalah "bisnis semua orang" bukan kelompok tertentu.

BPJS Kesehatan perlu berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya agar dapat bergerak menuju cakupan universal melalui penguatan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). SKN adalah pengelolaan kesehatan, yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa secara terpadu dan saling mendukung. SKN merupakan acuan pembangunan kesehatan, yang diselenggarakan dengan menggalang kemitraan dinamis dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta.

Menghadapi tantangan yang sulit, tidak ada yang harus terlambat. Ada cukup waktu dan ruang untuk advokasi Indonesia Sehat, diawali dari peduli

Salam hormat jabat erat.
Kris Kirana

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun