Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tantangan BPJS Kesehatan: “moral hazard” atau ……

27 Juli 2015   12:55 Diperbarui: 27 Juli 2015   13:47 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2014 mengalami defisit sebesar Rp3,3 triliun dan potensi defisit tahun 2015 sebesar Rp6 triliun.[1] Pemerintah bahkan memperkirakan potensi defisit 2015 mencapai Rp 11 triliun, atau membengkak lebih dari tiga kali lipat defisit tahun 2014.[2]

Defisit ini disebabkan karena sebagian besar peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah) baru mendaftar menjadi peserta ketika sakit.[3] Defisit juga dipicu moral hazard oleh sekelompok masyarakat mampu yang memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan karena ingin mendapat keuntungan,[4] misalnya peserta sakit jantung yang membayar iuran baru satu bulan kemudian operasi jantung yang biayanya Rp 150 juta.[5] Kemudian muncul sikap “tidak respek” di masyarakat kepada peserta golongan ekonomi mampu.

Peserta mandiri yang menunggak atau menolak membayar premi terutama setelah mendapat pelayanan kesehatan,[6] atau sedang dirawat di rumah sakit tiba-tiba ikut mendaftar sebagai peserta,[7] atau peserta yang memanfatkan fasilitas BPJS Kesehatan tetapi juga mengajukan klaim kepada asuransi komersial,[8] adalah kasus atau fenomena yang berbeda dari konsep moral hazard dalam konteks asuransi kesehatan, baik untuk ex-ante (sebelum sakit) maupun ex-post (saat menderita sakit). Konsep moral hazard berkaitan dengan informasi asimetri dan anti-seleksi (adverse selection).

Interpretasi harfiah istilah moral hazard mempunyai nada retorika yang kuat ketika dipakai oleh para pemangku kepentingan untuk mempengaruhi prilaku masyarakat. Sebaliknya, para ahli ekonomi menganggap moral hazard dalam asuransi kesehatan sebagai langgam bahasa (idiom) yang sedikit atau tidak terkait dengan moralitas.[9] Donabedian (1976) menyatakan frasa ”moral hazard“ menyesatkan maka perlu diganti yang lebih netral seperti misalnya “behavioral hazard” atau “utilization hazard”.[10]

Dalam kenyataannya, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak menghalangi penduduk dengan kondisi pre-existing (telah menderita penyakit) untuk mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Berbeda dengan asuransi kesehatan komersial, dimana calon peserta dengan kondisi pre-existing umumnya menghadapi “hambatan” misalnya premi lebih tinggi dan urun biaya (deductible, copayment, coinsurance).

Peserta mandiri dengan kondisi pre-existing mungkin lebih tertarik segera mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk memperoleh manfaat pelayanan kesehatan. Sebaliknya sebagian dari yang merasa cukup sehat mungkin tidak terdesak untuk segera mendaftar. Keduanya tidak terkait dengan moralitas maupun etika. Himbauan agar mendaftar sebelum sakit tidak efektif bagi penduduk dengan kondisi pre-existing.

Sebagian besar kondisi pre-existing umumnya penyakit kronik, misalnya hipertensi, diabetes, jantung koroner, stroke dan sebagainya, yang lazim disebut kondisi kronik. Beberapa kondisi kronik mungkin tidak mengakibatkan ketidakberdayaan pada saat ini tetapi akan menuju kesana bila tidak di terapi secara dini dan efektif. Beberapa orang dengan kondisi kronik dapat tetap hidup produktif dan bermanfaat; bagi yang lain menyebabkan depresi, terisolasi, dan menderita karena kesakitan.[11]

Kondisi kronik bisa terjadi pada semua umur, tetapi umumnya lebih banyak pada kelompok usia lebih tua. Prevalensi hipertensi makin tinggi dengan bertambahnya umur. Pada umur 16-39 tahun sebesar 6,8%, umur 40-59 tahun 30,4% dan pada umur 60 tahun atau lebih sebesar 66,7%.[12] Dalam dekade terakhir, penduduk umur 45 tahun atau lebih dengan dua atau lebih kondisi kronik telah meningkat secara signifikan.[13]

Penduduk dengan kondisi kronik, terutama multipel merupakan pengguna pelayanan yang lebih tinggi di semua kategori, baik rawat inap, rawat jalan, dan obat-obatan.[14] Para pengguna biaya tinggi pelayanan kesehatan hanya diwakili porporsi kecil penduduk tetapi menyerap sejumlah besar dana pelayanan kesehatan.[15] Sebesar 30% dana BPJS Kesehatan terserap untuk penyakit berat (kronik?).[16]

Diungkapkan bahwa kebanyakan dari peserta mandiri menderita penyakit katastrofik (penyakit berat berbiaya tinggi). Proposi biaya penyakit katastrofik pada kelompok peserta mandiri adalah sebesar 30,1 %. Pada pekerja penerima upah sebesar 24,1%, bukan pekerja sebesar 19,4%, penerima bantuan iuran (PBI) yang dibiayai APBN sebesar 20,7%, dan PBI yang dibiayai APBD(?) sebesar 5,7%.[17] Tampaknya tidak semua kondisi kronik direpresentasikan dalam proporsi biaya penyakit katastrofik tersebut, meski kondisi kronik perlu menjadi prioritas perhatian karena membutuhkan biaya cukup besar dan dalam jangka panjang.

Penyakit dapat menimbulkan risiko keuangan katastrofik ketika biaya yang harus ditanggung melampaui kemampuan untuk membayarnya. Setiap penduduk dapat terancam menjadi miskin ketika harus mengeluarkan dari kantung pribadi (out-of-pocket: OOP) melebihi 40 persen dari jumlah penghasilannya, setelah dikurangi biaya hidup sehari-hari.[18] Banyak penduduk dengan kondisi kronik terbebani oleh OOP, kemudian menjadi bangkrut, menjual aset, atau berhutang dan sebagainya.[19]

Agar calon peserta tidak mendaftar ketika sakit, maka dilakukan perubahan ketentuan masa aktivasi kartu peserta menjadi 7 hari setelah membayar iuran pertama (BPJS Kesehatan, 17 Oktober 2014)[20] dan diubah lagi menjadi 14 hari (BPJS Kesehatan, 24 April 2015).[21] Kebijakan ini tentu tidak efektif bagi peserta dengan kondisi kronik.

Apakah perlu dipertimbangkan kebijakan urun biaya untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, seperti dinyatakan dalam UU No.40/2004 Pasal 22 ayat 2? Tetapi, penyalahgunaan pelayanan mungkin lebih banyak dijumpai di sisi pemberi pelayanan. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Prof Dr dr Akmal Taher SpU(K) juga mengungkapkan banyak rumah sakit yang melakukan tindakan medis tidak penting dengan tujuan hanya untuk meraup keuntungan saja."[22]

Tahun 2014 terjadi defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp3,3 triliun. Potensi defisit ahun 2015 diperkirakan mencapai Rp 11 triliun. Diungkapkan bahwa defisit disebabkan karena sebagian besar peserta mandiri baru mendaftar menjadi peserta ketika sakit, selain dipicu oleh moral hazard dari sekelompok masyarakat mampu (peserta mandiri?) yang memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan karena ingin mendapat keuntungan.

Hingga Januari 2015 terdapat 9,8 juta peserta mandiri atau sebesar 7,22% dari total peserta BPJS Kesehatan sebesar 135,7 juta orang.[23] Peserta mandiri yang proporsinya 7,22% ini tampaknya telah menjadi penyebab defisit anggaran BPJS Kesehatan. Diungkapkan bahwa akibat ulah sekelompok masyarakat peserta mandiri, jumlah klaim yang harus dibayar BPJS Kesehatan membengkak dan diperhitungkan mencapai 600% dari total iuran peserta mandiri.[24]

Kedepan, tahun 2016, BPJS Kesehatan ingin mengatasi missmatch secara terstruktur. BPJS Kesehatan minta Pemerintah menaikkan iuran peserta PBI dari Rp19.225 menjadi Rp27.500 - Rp 40.000 per orang per bulan.[25],[26] Untuk pekerja penerima upah, BPJS Kesehatan mengusulkan perubahan pengali pendapatan tidak kena pajak (PTKP), dari 2 kali menjadi antara 5 hingga 7 kali PTKP, tetapi saat ini sedang dibahas untuk 3 kali PTKP. Selain mengubah batasan atas, juga diusulkan batas bawah iuran peserta PPU ialah 4,5% kali upah minimum tiap daerah.[27]

Apakah defisit BPJS Kesehatan dapat diatasi hanya dengan menaikkan iuran peserta?

Salam hormat jabat erat.
Kris Kirana | 27 Juli 2015

----------

1. Noviani A (2015). Klaim Membengkak, Neraca Keuangan BPJS Terancam Defisit Rp6 Triliun. Bisnis.com [Online] 4 Jun. Available from: http://finansial.bisnis.com/read/20150604/215/440302/klaim-membengkak-neraca-keuangan-bpjs-terancam-defisit-rp6-triliun [Accessed: 17 Jun 2015]
2. Triyono A, (ed) Santosa UA (2015). Defisit anggaran BPJS Kesehatan capai Rp 11 T. Kontan.co.id. [Online] 17 Jun. Available from: http://nasional.kontan.co.id/news/defisit-anggaran-bpjs-kesehatan-capai-rp-11-t [Accessed: 9 Jul 2015]
3. Kusuma, DR (2015). Klaim Melonjak, Iuran BPJS Diusulkan Naik 43% Jadi Rp 27.500/Bulan. Detik.com [Online]. 17 Feb. Available from: http://finance.detik.com/read/2015/02/17/130544/2835393/5/klaim-melonjak-iuran-bpjs-diusulkan-naik-43-jadi-rp-27500-bulan [Accessed: 8 May 2015]
4. Jatmiko BP. (2015). BPJS Kesehatan Minta Iuran Naik Jadi Rp 40.000. Kompas.com [Online] 5 Jun. Available from: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/05/110520826/BPJS.Kesehatan.Minta.Iuran.Naik.jadi.Rp.40.000 [Accessed: 11 June 2015]
5. Triyono A, (ed) Santosa UA (2015). Defisit anggaran BPJS Kesehatan capai Rp 11 T. Loc. Cit.
6. MenkoKesra. (2014) Peserta Mandiri Banyak Menunggak Premi BPJS Kesehatan. [Online] 25 Aug. Available from: http://www.menkokesra.go.id/artikel/peserta-mandiri-banyak-menunggak-premi-bpjs-kesehatan [Accessed: 1 Sep 2014]
7. Kusuma, DR (2015). Klaim Melonjak, Iuran BPJS Diusulkan Naik 43% Jadi Rp 27.500/Bulan. Loc. Cit.
8. Noviani A (2015). Klaim Membengkak, Neraca Keuangan BPJS Terancam Defisit Rp6 Triliun. Bisnis.com [Online] 4 Jun. Available from: http://finansial.bisnis.com/read/20150604/215/440302/klaim-membengkak-neraca-keuangan-bpjs-terancam-defisit-rp6-triliun [Accessed: 17 Jun 2015]
9. Pauly MV (1968). The Economics of Moral Hazard: Comment in The American Economic Review, Vol. 58, No. 3, Part 1, pp. 531-537. American Economic Association. [Online] Available from: http://www.ppge.ufrgs.br/giacomo/arquivos/eco02072/pauly-1968.pdf [Accessed: 22 Jul 2015]
10. Donabedian A (1976). Benefits in Medical Care Programs. Harvard University Press. [Online]. Cambridge, Massachusetts. Jan 1976. P.46. Available from: https://books.google.co.id/books?id=n92ODDKjr08C&pg=PA46&lpg=PA46&dq=the+use+of+phrase+moral+hazard+in+health+care+insurance&source=bl&ots=MDeneOpzcE&sig=t-3Nz6u10YlOSDszH3u7dG_vG8c&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=the%20use%20of%20phrase%20moral%20hazard%20in%20health%20care%20insurance&f=false [Acessed: 22 Jul 2015]
11. Anderson G (2010). Chronic Care: Making the Case for Ongoing Care. Robert Wood Johnson Foundation [Online], Feb 2010 p:8. Available from: www.rwjf.org/pr/product.jsp?id=50968. [Accessed: 27 Jul 2013]
12. Yoon, SS et. al. (2012). Hypertension Among Adults in the United States, 2009–2010. NCHS Data Brief. [Online] No.107 Oct. Available from: http://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db107.pdf [Accessed: 25 May 2015]
13. Freid, VM; Bernstein, AB and Bush, MA (2012). Multiple Chronic Conditions Among Adults Aged 45 and Over: Trends Over the Past 10 Years. National Center for Health Statistics Brief. [Online] No.100 July. Available from: http://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db100.pdf [Accessed: 21 May 2015]
14. Anderson G (2010). Chronic Care: Making the Case for Ongoing Care. Log.Cit. p:16
15. Rais S et. al. (2013). High-Cost Users of Ontario's Healthcare Services. HealthCare Policy. [Online] Aug; 9(1): 44–51. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3999548/ [Accessed: 22 May 2015]
16. Sekretariat Kabinet (2015). Menkes: 30 Persen Dana BPJS Kesehatan Terserap Untuk Penyakit Berat. [Online]. 27 Feb. Available from: http://setkab.go.id/menkes-30-persen-dana-bpjs-kesehatan-terserap-untuk-penyakit-berat/ [Accessed: 22 Apr 2015]
17. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (2014). Kebanyakan Peserta Jkn Mandiri Miliki Penyakit Katastropik. [Online] 11 Dec. http://www.depkes.go.id/article/view/14122200001/kebanyakan-peserta-jkn-mandiri-miliki-penyakit-katastropik.html [Accessed: 21 Jul 2015]
18. Xu K et. al. (2007). Protecting Households From Catastrophic Health Spending. HealthAffairs.org [Online]. 26(4):972-983. Available from: http://content.healthaffairs.org/content/26/4/972.full.html [Accessed: 10 May 2015]
19. Anderson G (2010). Chronic Care: Making the Case for Ongoing Care. Log.Cit. p:34
20. Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan.
21. Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Iuran Bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja.
22. Budiyanto EW (2014). Menkes: Sistem Kesehatan Harus Ditata. SuaraMerdeka.com. [Online] 5 Feb. Available from: http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2014/02/05/189868 [ Accessed: 24 Feb 2014]
23. Handayani I and Rossiana G (2015). Akhir Tahun, Peserta BPJS Kesehatan Jadi 168 Juta. BeritaSatu.com [Online] 1 Mar. Available from: http://www.beritasatu.com/kesehatan/253202-akhir-tahun-peserta-bpjs-kesehatan-jadi-168-juta.html [Accesses: 6 May 2015]
24. Triyono A, (ed) Santosa UA (2015). Defisit anggaran BPJS Kesehatan capai Rp 11 T. Loc. Cit.
25. Noviani A (2015). Klaim Membengkak, Neraca Keuangan BPJS Terancam Defisit Rp6 Triliun. Loc. Cit.
26. Jatmiko, BP. (2015). BPJS Kesehatan Minta Iuran Naik Jadi Rp 40.000. Loc. Cit.
27. Arifenie FN and Mahadi T. (2015). Tekor, iuran BPJS Kesehatan akan naik. Kontan.co.id. [Online] 23 Jun. Available from: http://keuangan.kontan.co.id/news/tekor-iuran-bpjs-kesehatan-akan-naik [Accessed: 9 Jul 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun