Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Budaya Literasi dengan Mading Sekolah

16 Maret 2018   23:22 Diperbarui: 16 Maret 2018   23:33 2716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak di Indonesia telah menghabiskan sebagian (besar) waktu dalam hidupnya di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang paling fleksibel untuk membentuk dan mengembangkan beragam aktivitas yang mengarah pada pembentukan karakter. 

Kiranya kegiatan membaca dan menulis bisa menjadi alternatif untuk pembentukan karakter anak didik. Secara khusus, kegiatan menulis bisa menjadi sarana untuk memelihara cara berpikir positif terhadap sesama, lingkungan hidup, serta hal-hal keindonesiaan lainnya. 

Kebiasan berliterasi akan menumbuhkan kesadaran untuk turut menjaga dan memelihara keharmonian pemikiran seseorang. Buku atau media tertulis lainnya akan menjadi suatu objek yang menyegarkan bagi jiwa-jiwa yang masih dalam tahap pertumbuhan menuju dewasa. Media komunikasi sekolah (buletin/majalah dinding) akan menjadi ajang untuk berefleksi dalam bentuk gambar atau tulisan.

Gary E. Knell, Presiden dan CEO National Geographic, pada volume 10 nomor 12 bulan Desember 2014, menulis: Guru paling berpengaruh di abad ini adalah media. Kita tahu, catatannya itu meledak pada tahun-tahun berikutnya. Dalam dunia pendidikan hingga kini masih ada sebagian guru yang tercengang dengan arus informasi yang kian berwarna, bahkan sebagian besar tidak terpahami. 

Namun, kurikulum yang dikemas telah berupaya menggandeng lalu lintas informasi, tapi tetap saja masih terlambat dalam menyiasati "apa yang sebenarnya terjadi". Manakala sebagian besar siswa di negeri ini "berguru" pada media, maka dibutuhkan sikap yang konsekuen untuk mengimbangi perubahan perilaku siswa. Sekolah wajib untuk terus berupaya menyediakan wahananya, salah satunya mengimbangi dengan penyediaan media komunikasi untuk saling berbagi (karya), sehingga guru/karyawan terlibat aktif untuk menyiasati keadaan yang cenderung menyajikan konflik atau sengketa.

Selain menuntut kebiasaan, menulis atau mengarang juga suatu aktivitas untuk mengaktifkan pancaindra. Otak sekadar mengolah sesuatu yang ditangkap oleh mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah. Hati menggenapi pengolahan (otak) agar logika menjadi ritmis dan estetis manakala terwujud dalam bentuk karya tulis. Kegagalan seorang penulis (biasanya) pada sisi keengganan atau keteledoran dalam memanfaatkan celah-celah dalam belantara wacana. 

Kepekaan pancaindra menjadi modal utama untuk menangkap berseliwerannya inspirasi yang muncrat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada orang berujar, "Aku itu mempunyai banyak gagasan, tapi tidak ada kesempatan untuk menuliskannya" -- itu suatu omong kosong yang akan dicetuskan terus-menerus dalam hidupnya. Kiranya sekolah bisa menjadi sarana untuk membangun budaya literasi bagi guru/karyawan agar terbiasa menulis -- di samping tetap mempertahankan ruang bagi informasi seputar kegiatan sekolah lainnya.

Kompas.com, Kamis, 14 September 2017 melaporkan Presiden Jokowi yang meresmikan gedung perpustakaan nasional. Gedung perpustakaan 27 lantai yang diklaim sebagai perpustakaan tertinggi di dunia ini, memiliki fasilitas yang mencengangkan:  antara lain ruang layanan keanggotaan perpustakaan nasional, ruang teater, ruang zona promosi budaya baca, data center, layanan anak, lansia dan disabilitas, layanan koleksi buku langka hingga layanan multimedia. Generasi Y dan Z diharapkan terlayani dalam mengakses segala informasi yang tersedia di sana.

Pada era digitalisasi ini media massa cetak lebih memiliki tantangan dibandingkan media-media daring. Namun, media komunikasi sekolah (buletin/mading) mempunyai keuntungan (sebagai peluang) pada segmen pasar yang jelas, bahkan terukur. Kegiatan literasi bisa menjadi suatu cara untuk membangun sikap nasionalisme. Sekolah adalah tempat tradisional yang paling ideal untuk membangun sikap-sikap keindonesiaan. 

Praktik pembiasaannya bisa bervariasi asalkan mempunyai pedoman nilai yang bertanggung jawab, seperti daya juang, menghargai keberagaman, membela kaum lemah, mengidolakan pahlawan, dan sebagainya.

Harapan presiden sebenarnya telah terjawab dengan KTSP 2013, di dalam sebagian  konten kurikulum ada konsep literasi yang diartikan sebagai kemampuam peserta didik dalam menulis dan membaca. 

Kemampuan berliterasi merupakan bentuk integrasi dari kemampuan menyimak, mewicara, membaca, menulis, dan berpikir kritis. Kemampuan membaca dan menulis sangat diperlukan untuk membangun sikap kritis dan kreatif terhadap fenomena kehidupan yang mampu menumbuhkan kehalusan budi, kesetiakawanan, dan sebagai upaya melestarikan budaya bangsa. 

Seandainya hingga kini belum menjadikan gerakan serentak di semua jenjang sekolah, para guru dapat memulai dengan aktivitas sederhana: menugaskan anak didik untuk menggunakan fasilitas di perpustakaan. Produk dari hasil membaca ini (literasi) disalurkan melalui media sekolah (buletin/mading), sehingga kebiasaan berliterasi tersalurkan dan terpublikasi secara rutin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun