Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari, Berpuisi Saja!

25 April 2017   09:10 Diperbarui: 25 April 2017   18:00 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi tak pernah memberi solusi pada permasalahan. Itu tidak salah, kendati tidak sepenuhnya benar. Puisi mengungkapkan suatu ekspresi terhadap yang sukar terpahami. Entah akibat kebodohan, kemalasan, atau pun kekonyolan kita dalam memandang problema. Namun, puisi diungkap, kata-kata dipilih dan digurat – juga dikerat, telah berproses lama sebelum terwujud dalam larik, bait, dan rima.

Puisi itu suatu permainan kata yang serius. Bahkan, ada yang mengolah dalam sehari-semalam hanya menemukan satu kata saja. Permainan yang tidak sembarang orang mampu mengikutinya. Justru karena tanpa syarat atau ketentuan, apalagi tanpa juri, wasit, atau hakim yang terlibat di dalamnya. Maka puisi pun bermain dengan bebas, mengupas hingga topik yang jarang dibahas sampai tuntas.

Pada puisi ”Malam” (1957) Chairil Anwar mengingatkan bahwa puisi sangat bergantung pada upaya kita untuk terjaga: sebelum siang membentang/kami sudah tenggelam hilang

Namun, WS Rendra pada ”Pamlet Cinta” (1978) menunjukkan bahwa hari terang pun memberi kejelasan juga tentang puisi: Lalu muncullah kamu,/nongol dari perut matahari bunting,/jam duabelas seperempat siang./Aku terkesima.

Dengan cara yang berbeda, kendati tetap memantulkan bias yang sama, Sapardi Djoko Damono menggelitik kita untuk menggunakan cara sederhana, coba saja simak pada ”Tentang Matahari” yang sedikit berjenaka: Matahari itu? Ia memang di atas sana/supaya selamanya kau menghela/bayang-bayanganmu itu.

Namun, apabila kita mau berindah-indah dalam menyelami puisi, barangkali cara Goeonawan Mohamad lebih sesuai untuk para komtemplator, misalnya dalam ”Tigris” (1986) yang mengais sejarah keallahan: Sungai demam/Karang lekang/Pasir pecah/pelan-pelan/Gurun mengerang: Babilon!/Defile berjalan/Lalu Tuhan memberi mereka bumi/Tuhan memberi mereka nabi/Antara sejarah/dan sawah/hama/dan Hammurabi

Nah, kini jangan mempertanyakan lagi puisi, bahkan untuk bertanya-tanya pun tak usah diingini. Biarlah puisi terus tersembunyi, dengan begitu kita menjadi bebas untuk memaki atau merefleksi. Untuk mengumpat atau bermaslahat. Juga untuk sekadar berbuat tanpa harus berlagak sebagai nubuat. Selamat berpuisi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun