Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Seraut Nan Utuh (12)

25 September 2014   06:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

MERANGKUL BATAS

Dalam pewayangan Arjuna mempunyai 41 istri. Cantik-cantik dan jelita. Dia juga menyunting tiga bidadari dari Kahyangan Jonggringsaloka. Kahkayangan itu sebuah negeri di awang-awang, sebuah dunia yang dihuni para dewa dan dewi. Hidup manusia biasa hanya terbatas keberadaan di mayapada, alam fana. Suatu kemustahilan seorang manusia bisa menyunting bidadari dari Kahyangan.

Manusia tidak punya kemampuan mencapai Kahyangan, seberapa pun kesaktian yang dikandungnya. Arjuna memang istimewa. Para dewa pun menghormatinya. Dia satria yang tampan, gemar menuntut ilmu   dan berkelana sejak muda. Dalam pengembaraannya, Arjuna memiliki istri di mana-mana. Perempuan yang disuntingnya beraneka, ada anak raja, putri pendeta, asuhan pertapa, juga bidadari Kahyangan Jonggringsaloka. Kaum putri membiaskan banyak kharisma. Jika dia anak raja menggambarkan kepemimpinan, adil bergelimang gemah ripah loh jinawi. Anak pendeta memunculkan ketaatan pada dogma keyakinan yang dianutnya dengan ketegaran jiwa. Putri pertapa menyuburkan sikapnya yang bijaksana dan berwawasan kontemplatif. *)

Semua pernikahan Arjuna merupakan pertanda dari ketekunan dalam mereguk ilmu. Setiap perawan yang disuntingnya menandai kedalamannya dalam berguru dan menyadap wejangan. Arjuna berarti bening. Putih. Bersih. Para istri yang mengelilingi hidupnya cuma simbol dari kebeningan jiwa. Para istri menjadi lambang dari putihnya darma. Para istri adalah ungkapan sesaji kebersihan rasa hati, kejernihan nurani. Tato menyukai Arjuna. Lila membuat dirinya bening. Lila memutihkannya. Lila membersihkannya. Sukma, istrinya, telah memupuknya dalam hidup nyata sehari-hari.

”Aku tidak peduli wayang. Aku lebih suka film. Lebih nyata. Lebih menghibur. Mudah ditangkap maknanya.” ucap Wud sembari meneguk isi gelasnya.

”Aku tidak peduli film. Aku tidak peduli wayang. Aku hanya mau peduli pada kehidupan.” sahut Tato, tangannya meraup cake.

”Kehidupan?”

”Ya, kehidupan itu, maksudku, istri dan anak-anak. Ya, Lila. Ya, kamu. Ya, para mahasiswa yang manja-manja. Ya, kolega. Itu saja.”

”Tidak perlu pusing dengan caranya?”

”Maksudmu?”

”Yah, cara hidup. Selingkuh, misalnya.”

”Wud, Wud. Aku tidak kenal selingkuh. Yang kukenal: L-i-l-a.”

”Seperti Arjuna?”

”Mungkin.”

”Adakah selain Lila?” Wud menantangnya. Tato menggeleng.

”Cukup dua wanita?”

”Ini bukan masalah jumlah, Wud.”

”Cinta. Kasih. Kerelaan. Kepasrahan. Pengorbanan. Penerimaan ....”

”Wud, jangan sinis dong. Kamu makin imajinatif. Aku suka itu. Tanpa kamu, kami tidak tahu akan bernasib apa. Kamu menjadi kebahagiaan kami berdua.”

”Aku bukan Kresna, si kusir kereta dalam perang Baratayuda.”

”Tidak perlu menjadi Kresna yang menerangi mata dan hati Arjuna. Kamulah guru spiritual bagiku.”

”Aku bukan ulama, bukan pendeta.”

”Seseorang yang dipandang sebagai guru, bagiku yang penting menjadi jembatan.”

”Jembatan? Lila ngomong jembatan, kamu juga. Jembatan apa?”

”Jembatan bagi dua hati, dua manusia. Bahkan, kamu punya anak buah yang bekerja. Kamu pun merupakan suatu jembatan bagi mereka. Jembatan yang mempertemukan mereka dengan dunianya, dengan pekerjaannya. Jembatan yang menjadi sarana bagi mereka untuk menyiasati hidupnya. Juga bagi kami berdua.”

”S-a-r-a-n-a. Itu berarti kesediaan diri. Kerelaan, juga penerimaan.”

”Makasih, Wud.”

”Aku tidak setuju. Tapi, aku tidak menentang hubungan kalian. Aku cuma berusaha menerima. Mungkin aku turut menanggung dosa. Tak apa.”

”Makasih, Wud.”

”Sudahlah.”

”Makasih, Wud.”

”To, To. Ngapain kamu tidak nyetak kartu ucapan makasih saja!”

”Makasih, Wud.”

”Hah? Okelah, sama-sama.” Mereka berpandangan sejenak. Mereka pun tertawa. Tiba-tiba Wud mengangkat badannya. Mencondongkan punggung ke depan. Berbisik di dekat telinga temannya. Muka Tato sontak memerah.

” Check-upnya kapan?” tanya Tato.

” Sekitar tujuh hari yang lalu.”

”Jelas positif?”

”Ya.”

”Pasti ... yang sekali itu.”

”Apanya?”

”Terus-terang, Wud. Kami jarang bercinta pada masa subur. Seingatku, baru sekali saja. Itu pun dalam perhitungannya masa kering.”

”O .... Hebat, dong!”

”Jangan nyindir, Wud.”

”Nggak. Coba pikir, sekali langsung jadi. Ada yang bertahun-tahun nggak jadi-jadi. Masa’ jadinya lewat mulut. Itu kan nggak sengaja tertelan.” Wud tergelak. Tato terhenyak. Mereka berdiaman. Wud merasa tidak enak.

”Okelah. Kalau kalian repot, biar diasuh istriku nantinya. Kayaknya ketiga anakku akan senang punya adik baru.” ujar Wud menenangkan temannya.

”Lila pasti berpikir lain.”

”Oke. Sekarang, aku harus ngecek kerja anak buahku. Sudahlah, istriku pasti setuju.” Wud menepuk-nepuk bahu temannya.

”Jangan, Wud. Tolong tidak ngomong ke istrimu dulu.”

Mereka bersalaman. Wud pergi. Tato tergugu. Sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun