PESAWAT
”Kenapa kau berkeringat?”
”Aku belum pernah naik pesawat.”
”Rileks. Rileks. Dan rileks. OK?”
Aku mengangguk sambil menatap warna hari yang kian merangkak. Perasaanku masih kesal dengan segala tetek-bengek pemeriksaan, yang menurutku tidak ada habis-habisnya. Aku teringat ketika nyengklak becak dan andong yang rasanya lebih nyaman.
”Rileks, Bung. Pesawat itu transportasi yang paling nyaman.”
Aku mengangguk saja, mencoba tersenyum. Pramugari mulai memeragakan cara mengancing sabuk dan beberapa hal tentang keadaan darurat.
”Nyaman, dapurmu!” umpatku dalam hati. Kalau nyaman dan aman mengapa pengumuman tentang penyelamatan darurat lebih banyak ketimbang jaminan untuk hidup sesudah turun? Gombal!
Para penumpang mulai mengancingkan sabuk pengaman. Kupandang dari jendela, sekeliling berlari, sebagian sirip sayap perlahan membuka otomatis. Aku pun berdoa. Pulung hatiku tersentak saat burung besi lepas dari landasan. Sialan!
Bumi makin menjauh, jalan raya yang melingkar-lingkar, bangunan-bangunan bertingkat, alur sungai yang coklat, lalu lintas kendaraan… makin mengecil. Mataku terbelalak dengan hati tak berdaya. Tenggorokanku seakan mengering dalam sekejab. Sial, aku tadi menolak ditawari permen oleh pramugari. Grek-grek-grek, pesawat menerobos awan. Perutku mulai bergolak. Muntah di pesawat? Amit-amit. Kuraih air mineral kemasan, kuteguk dengan sepuasnya. Grek-grek-grek, lagi-lagi ada awan di depan.
”Aku mau turun! Turun! Turun!” teriakku lantang.
Pramugari yang manis mendekatiku.
”Turunkan aku!” bentakku.
”Tinggal tujuh belas menit lagi, Pak.”
”Jangan bermanis-manis di depanku! Kau dengar, turunkan aku! Dengar! Turunkan aku!” aku meronta, sabuk pengaman kulepas dengan sembarang.
”Tenang, tenang, Pak.” Bujuknya dengan ramah.
”Tenang-tenang-tenang, gundhulmu!”
Pramugari itu menahanku untuk tetap duduk. Tangannya kukibaskan dengan kasar.
”Oke, oke. Silakan berdiri.” Dia mulai merasa kewalahan. Tangannya membimbingku, mengandeng ke arah ekor pesawat. Dia memasukkanku ke suatu ruang.
”Pak…” katanya, kami masih berdiri.
”Apa?!” sungutku dengan gusar.
Kedua tangannya meraup wajahku. Rasa indah menjalar dalam badan. Tangannya yang halus menyetop kegusaranku. Aku menatapnya, dia menatapku. Sayup-sayup ada pengumuman untuk mengenakan sabuk pengaman. Rasa mual muncul lagi. Aku berteriak. Aku meronta.
Dia kaget, membungkam mulutku dengan mulutnya. Aku pun lemas. Lidahnya mencari-cari lidahku. Pelan lidahku menggeliat. Dengan rakus dikulumnya lidahku. Dia menggigit lidahku. Sekuatnya. Aku berontak, tapi tanpa daya. Dia yang berkuasa. Dengan sekali sentak, separuh lidahku telah sempal masuk ke mulutnya. Dia mengunyah dengan wajah puas. Aku terduduk lemas.
”Silakan, turun, Pak.” Katanya menarik tanganku.
”Terima kasih, Pak, telah terbang bersama kami.”
”Lidahnya enak sekali.” Bisiknya.
Saat aku menuruni tangga, aku menoleh kepadanya dengan gemas. Dengan limbung aku menapak bumi. Aku terpelanting, ternyata aku melayang di udara. Kulihat pesawat itu makin jauh mengangkasa.
Aku meronta di semesta raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H