Pada hakikatnya, manusia tak pernah dapat dipisahkan dari kebudayaanya. Dalam bahasa Amandus Klau, setiap manusia adalah ayah sekaligus anak dari kebudayaannya. Sebagai ayah, manusia adalah pencipta kebudayaanya. Sementara, sebagai anak, manusia dibentuk dan dibesarkan oleh suatu kebudayaan tertentu, yang diwariskan turun temurun.
Konsep yang pertamai -- manusia sebagai ayah dari suatu kebudayaan -- mengarah pada makna etimologis dari kata budaya itu sendiri, yakni akal atau budi (kata "budaya" berasal dari kata bahasa Sanskerta Buddhayah, yakni bentuk jamak dari kata Buddhi, yang artinya budi atau akal). Kebudayaan adalah hasil karya akal atau budi manusia, mulai dari sistem gagasan, bahasa dan karya seni, hingga peralatan yang dibutuhkan untuk memudahkan aktivitas hidup manusia. Sedangkan, konsep yang kedua merujuk pada realitas kebudayaan sebagai seperangkat nilai dan lain sebagainya, yang diwariskan turun temurun, bersifat mengikat, dan yang membuat satu kelompok masyarakat berbeda dari masyarakat lainnya (Alex Sobur: 2014, hal. 97-99). Dengan demikian, tak dapat dimungkiri, setiap daerah pasti memiliki budayanya tersendiri.
Budaya ini acapkali dianggap sebagai tradisi dalam masyarakat (Oxford Dictionary mengartikan tradisi selain sebagai "a belief, custom or way of doing something has existed for a long time among a particular group of people" (kepercayaan, kebiasaan atau cara melakukan sesuatu yang telah ada sejak lama di antara sekelompok orang tertentu), juga sebagai "a set of these beliefs or customs: religions/ cultural/ literary tradition" (seperangkat keyakinan atau adat istiadat yang terdiri dari: agama, budaya, tradisi sastra).
Tradisi ini bisanya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada tradisi daerah yang diturunkan secara lisan maupun tulisan.
Sekilas tentang Danau Toba dan Budanyanya
Danau Toba adalah gambaran keajaiban alam dunia yang luar biasa. Danau kawah yang sangat besar ini terdiri dari sebuah pulau yang hampir seukuran Singapura di tengahnya. Dengan luas lebih dari 1.145 km persegi, dan kedalaman 450 meter, Danau Toba sebenarnya lebih seperti lautan. Ini adalah danau terbesar di Asia Tenggara dan salah satu danau terdalam di dunia.
Masyarakat sekitar danau Toba sendiri, memiliki tradisi luhur yang diwariskan dari nenek moyang. Misalnya, tarian Tor-Tor. Tarian tradisional ini biasanya dibawakan dalam perayaan-perayaan seperti saat panen raya atau upacara pernikahan. Namun, menurut sejarah, Tari Tor-Tor digunakan dalam ritual untuk memanggil roh dan 'menjalankan' mereka ke patung-patung batu, yang didirikan sebagai simbol leluhur.
Selain itu, ada wayang kayu bernama Sigale-gale yang menjadi daya tarik wisata di Pulau Samosir karena nilai mistis dalam mitos dan kepercayaan yang melingkupi wayang itu sendiri.
Penduduk setempat percaya bahwa Sigale-gale dapat meratap dan menari sendiri tanpa musik. Ada juga yang mengatakan bahwa Sigale-gale hanya bisa ditaruh di peti mati. Arca ini juga biasa digunakan dalam upacara kematian keluarga di daerah Samosir karena tari Sigale-gale dipercaya oleh warga sekitar untuk mengantarkan arwah orang yang sudah meninggal ke alam baka (https://www.indonesia.travel/gb/en/destinations/sumatra/lake-toba, diakses pada 14/9/2021).
Budaya dan Tradisi di Danau Toba: Antara Cemas dan Harapan
Meski tidak pernah berkunjung ke Danau Toba, sebagai generasi muda yang peduli dengan budaya tradisional, saya memiliki dua perasaan sekaligus: cemas dan harapan (Kamus Besar bahasa Indonesia versi online mendefinisikan cemas sebagai perasaan hati yang merasa sangat gelisah (takut, khawatir), sementara harapan adalah keinginan supaya sesuatu terjadi).
Saya cemas, suatu saat tradisi lokal masyarakat daerah sekitar Danau Toba bisa punah akibat merasuknya arus globalisasi. Seperti yang disaksikan bersama, kita sedang berada dalam pusaran arus globalisasi. "Anak kandung" dari arus ini adalah teknologi. Acapkali kita tercemplung dalam teknologi, serentak melupakan budaya dan tradisi lokal yang memiliki nilai kebajikan tersendiri.
Saya cemas, masyarakat adat kita secara umum dan masyarakat sekitar Danau Toba secara khusus, bisa saja melupakan budaya yang adalah tradisi nenek moyang mereka. Tarian Tor-Tor dan Wayang Sigale-gale bisa dilupakan generasi muda sekitar Danau Toba.
Meski demikian, saya memiliki harapan yang tak kalah besarnya. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dalam kunjungan kerjanya ke Danau Toba pada Rabu (30/12/2020) menegaskan bahwa target pembangunan dan pengembangan Danau Toba diarahkan pada pariwisata berbasis budaya dan alam. "Banyak kearifan lokal dan budaya di sini yang harus kita jaga dan kembangkan, tinggal kita membuat strategi apa yang tepat untuk dikembangkan, seperti calender of event-nya bisa dibuat sport tourism event, dari segi produk seperti ulosnya juga harus diseragamkan dan lainnya," ujarnya (https://kemenparekraf.go.id, diakses pada 14/9/21).
Hal ini mesti dan patut ditanggapi secara serius oleh masyarakat, khususnya generasi muda sekitar Danau Toba di tengah tantangan arus globalisasi. Mereka mesti memikirkan secara lebih jauh, langkah jangka panjang apa yang mesti dibuat agar tradisi budaya tidak tergerus zaman.
Solusi
Solusi yang saya tawarkan adalah mengadakan even budaya setiap tahun, seperti penegasan Menparekraf di atas. Setiap wisatawan yang berkunjung, entah lokal atau internasional, diwajibkan menggunakan pakaian daerah masyarakat lokal. Sementara itu, masyarakat setempat, khususnya kaum muda, mementaskan acara bertema budaya lokal sembari memperkenalkan Danau Toba itu sendiri secara mendetail. Wisatawan yang berkunjung pun dijejali dengan makanan lokal masyarakat setempat. Jika ada wisatawan yang hendak menginap, mereka diwajibkan menginap pada rumah masyarakat setempat, yang sudah ditentukan oleh tetua adat atau aparat pemerintahan setempat, bukan di hotel atau tempat penginapan mewah. Penentuan tempat nginap ini mesti jelas dan terstruktur, agar semua rumah masyarakat setempat bisa ditempati oleh wisatawan.Â
Hemat saya, selain even ini dapat memberikan dampak dua manfaat sekaligus: peningkatan ekonomi masyarakat, serentak membantu masyarakat, khususnya kaum muda menghidupi dan menjaga budaya dan tradisi leluhurnya. Â
Hal ini bukan menandakan sebuah kekolotan. Even yang bertema sederhana dan lokal tidak identik degan kekolotan, melainkan sebuah ekspresi kejeniusan sikap manusia dalam ziarah mencari jati dirinya. Kemodernan dan keglobalan dunia tak pernah terjadi dari dirinya sendiri. Hal itu muncul dari usaha manusia menemukan hakikat sebuah hal sederhana (Aleksander Dancar, "Otonomi Budaya dan Globalisasi", Lentera, II, hlm. 4).
Akhirnya, mari lestarikan budaya lokal di sekitar Danau Toba agar tetap lestari sepanjang masa.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H