Bagi remaja yang hidup di dunia hiperrealitas saat ini, yakni era yang dituntun oleh model model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983), bintang televisi adalah idola baru. Suatu fenomena yang digelisahkan para orang tua dan berbagai tokoh agama karena icon-icon yang mereka agungkan dimasa lalu tidak lagi menjadi idola remaja. Sebuah realitas yang dikhawatirkan pengusung moralitas dan etika karena simbol-simbol nilai konservatisme mereka: orang tua, guru, pemimpin masyarakat, pahlawan bangsa, tidak lagi menjadi rujukan para remaja dalam membentuk tingkah lakunya. Remaja telah memiliki idola baru yang idola ini biasanya adalah para artis, bintang film, ataupun selebritis, atau orang-orang yang sering tampil di media massa utamanya saat ini adalah televisi. Kegelisahan dan kekhawatiran yang boleh jadi bermotif kecemburuan dan persaingan perdagangan nilai, dimana icon dan nilai yang kita tawarkan tak lagi laku, ataupun boleh jadi pula berakar dan melihat gejala pengidolaan yang ternyata mengarahkan pada histeria dan kegilaan remaja. Pengidolaan terhadap bintang idolanya ini dianggap sebagai kegilaan, dalam paradigma pengusung nilai lama, adalah ketika melihat remaja seringkali bertindak diluar rasio demi bintang idolanya tersebut. Kegelisahan saya sebagai orang tua mulai muncul ketika mengamati perilaku anak gadis saya menggilai bintang K-Pop,, sebuah gelombang baru generasi musik dan film yang berhulu dari budaya Pop Korea. Apa yang dia lakukan dari bentuk yang sederhana seperti selalu menyaksikan film yang dibintangi idolanya atau konser pertunjukkan musik dimanapun mereka tampil, hingga mengoleksi kaset, VCD atau segala pernak-pernik merchandise dan poster yang ada gambar atau segala sesuatu terkait bintang idolanya tersebut, dan mengikuti perkembangan kehidupanya melalui berita-berita di media social seperti Facebook, Twitter hingga instagram. Pernah suatu hari sebagai orang tua saya “di strap” anak saya tersebut untuk mengantarkan dia ke sebuah Taman di New Jersey yang berjarak puluhan kilometer untuk menyaksikan pertunjukan kelompok Band Anak muda B2ST dari pagi hingga sore hari. Keesokan harinya, dia bersama temannya masih melanjutkan kegilaan lain dengan berjam-jam menunggu bintang pujaannya muncul di Time Square New York dan menjerit histeris walaupun hanya melihat bayangannya saja. Fenomena yang sama juga saya saksikan pada warga New York, dimana suatu hari saya melihat barisan manusia berjejer hingga membuat tenda darurat disepanjang trotoar 5thAvenue Manhattan untuk menunggu bintang Pop Pujaan Mereka Justin Bieber “lewat” di jalan tersebut. Demikian pula halnya dengan di Indonesia saya pernah melihat anak-anak ABG rela berebut dan histeris melihat idolanya, bersaing untuk dapat mencium idolanya yang kadang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan sudah pasti dalam kacamata konservatif ini melanggar nilai-nilai lama. Yang lebih membuat saya terkesima adalah fenomena idolaisme ini juga mempengaruhi hingga yang dikategorikan patologis yaitu pengidentifikasian identitas diri terhadap idolanya yang ditunjukkan dalam perilaku, cara berpakaian, dan berfikir yang sedapat mungkin sama dengan bintang idolanya. Renungan saya sejenak berlari bagaimana sebuah perekmbangan tekhnologi informasi telah membentuk budaya baru pada sebuah generasi baru, saya mungkin bisa menamai mereka dengan generasi global. Sebuah generasi yang tidak lagi mengenal batas bangsa, batas etnis, batas wilayah dan batas usia. Sebagaimana pula disinyalir Giles (2002) merujuk hasil penelitiannya bahwa pemirsa televisi yang membentuk hubungan maupun interaksi yang sangat kuat terhadap perfomer akan ia tiru, bahkan tingkah laku yang buruk dalam film pun akan ia tiru. Pemirsa televisi menggunakan situasi dan tingkah laku performer dalam film maupun dunia nyata, untuk mengartikan dan memahami kehidupan dirinya sendiri. Tampaknya fenomena ini diungkap dengan baik oleh media, dieksplorasi, dikorporasi, dan diproduksi sebagai konstruksi sebuah realita: menjadi idola atau mengikuti idola adalah bagian dari modernitas. Bisa dilihat bagaimana acara-acara yang mempertemukan para bintang dengan idolanya, dan acara yang memberitakan kehidupan dan gossip para selebritis laku keras, atau akhir-akhir ini marak acara memproduksi idola-idola baru dimana menjadi idola adalah yang utama terlepas dari instannya proses ataupun kualitas dari idola tersebut. Lebih hebat lagi dimasa kini, para manajemen artis internasional menggunaka media jejaring social untuk mengikat para fans nya agar tetap “engage” dengan segala kegiatannya. Lebih parah lagi para fans yang beruntung bisa berkomunikasi langsung dengan mereka melalui media sosial tersebut kapan saja. Saya yakin, banyak stasiun televisi di Indonesia yang ikut larut dalam trend ini karena acara-acara semacam ini meraih rating tinggi dan pemasukan iklan melimpah, dimana keuntungan bagi stasiun televise itulah ujungnya. Dalam konteks pendekatan social bagi saya seorang polisi, saya melihat bahwa pengidolaan seringkali diakitkan dengan perilaku remaja dalam memenuhi tugas perkembagannya untuk menemukan identitas diri. Seperti diungkap Raviv (dalam Biran & Praesti, 2004) fenomena idolisasi adalah karakteristik khusus remaja awal. Dengan mengidolakan seseorang biasanya terjadi modeling dalam perilaku sehari-hari. Sedang menurut sartono mukadis remaja biasanya mengidolakan selebritis tertentu agar tidak dianggap kurang pergaulan oleh teman-temannya. Perpaduan antara kelihaian media mengkapitalisasi idola sangat klop dengan kebutuhan remaja yang sedang mencari identitas diri. “karena itu, tidak heran jika kemudian lahir penggemar-penggemar fanatik”. Mereka-mereka inilah yang bisa kita pelajari karakternya dalam rangka menemukan solusi bagi perkembangan pertumbuhan mereka agar tidak berjalan kearah yang tidak kita harapkan bersama. Fenomena yang sama, juga sebenarnya banyak dilakukan oleh orang dewasa. Fenomena idolasisasi terhadap Jokowi, adalah sebuah perkembangan baru bagi kita. Saya mengamati bagaimana dengan popularitasnya yang tinggi dia bisa meminang banyak hati para pemilih Jakarta untuk menjadikannya sebagai Gubernur. Jokowi telah menampilkan gaya baru pengidolaan bagi berbagai kalangan akan hausnya kita kepada contoh panutan. Dalam pendekatan psikologi, fenomena idolasiasi yang sebagian besar diantaranya adalah remaja merupakan bagian dari apa yang diistikahkan Ericson sebagai krisis identitas. Kita semua selama ini ternyata mengalami sebuah fase dimana secara normatif dalam tahap perkembangan kehidupan kita mengahadapi tugas berat untuk mencapai sebuah identitas diri yang memuaskan bagi diri kita sendiri sekaligus dimana kita merasa masayarakat membebani pula tanggung jawab bahwa identitas tersebut harus dapat diterima oleh mereka (hall, lindzey, & Campbell, 2002). Oleh karena itu, menjadi tidak mengherankan dimanda dalam perkembangan kehidupan kita mengalam fase dimana mengidolakan seseorang adalah bagian dari usaha mendapatkan model pembentukan identitas diri karenanya peran model disini adalah sangat penting. Dalam konteks kehidupan berorganisasi, identitas dianggap penting ketika individu menjadi bagian dari anggota organisasi tersebut. Namun demikian identias diri ini bukanlah suatu entitas yang menetap melainkan kemudian menlebur menjadi identitas organisasi dimana dia berada. Bila kita gagal membentuk identitas diri yang utuh dalam suatu organisasi, maka secara perlahan kita akan kehilangan identitas diri dan menjadikan diri kita sebagai manusia beridentitas organisasi namun tanpa jatidiri. Jika seseorang gagal memebentuk identitas diri yang matang dalam sebuah organisasi yang besar, maka yang terjadi kemudia adalah kebingungan identitas atau identity diffusion.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H