Tiga kata: Lonte, Anjing dan bodoh. Tiga kata itu bergantian meluncur dari mulut Lilis dan Neneng ketika keduanya berjumpa merebut tempat terseksi, tercantik dan teraduhai di mata penonton pub Bintang Kejora. Keduanya saling mengumpat, mencela. ‘Lonte teriak Lonte’ umpat salah seorang dari mereka, sebelum keduanya benar-benar dibakar amarah selanjutnya adu otot. Berkelahi.
Dua ‘lonte’ itu adalah tokoh sentral dalam ‘Arwah Goyang Kerawang’, sebuah film horor produksi Sentra Mega Kreasi besutan sutradara Helfi Kardit. Film berdurasi 90 menit itu mengisahkan tentang Lilis yang terpaksa kembali menjadi penari disebuah group tari jaipong Goyang Kerawang, setelah sekian lama dunia yang dulu pernah membesarkan namanya itu dia tinggalkan demi sebuah perkawinan. Aji sebagai suami Lilis, tidak lagi bisa mencegah karena Aji tidak berdaya karena kondisi ekonomi rumah tangganya berantakan sejak dirinya di-PHK dan menganggur.
Kembalinya Lilis ke dalam grup rupanya membuat perubahan yang luar biasa. Pada setiap penampilanya di atas panggung, Lilis selalu saja menjadi pusat perhatian pengunjung pub Bintang Kejora. Sebagai primadona group Goyang Karawang saat ini, Neneng merasa terancam dengan kembalinya Lilis dalam group. Dengan segala cara Neneng berusaha mempertahankan posisinya, apa lagi untuk meraih predikat itu memerlukan perjuangan dan pengorbanan luar biasa bagi Neneng. Kehebatan Lilis menggoyang panggung dan menguras kocek pengunjung membuat Pak Awal sebagai pemilik pub menempatkan Lilis sebagai bintang utama menggantikan Neneng dan tentu saja, persaingan keduanya semakin seru.
Lonte (tentang seks), Anjing (tentang sinisme), dan bodoh (tentang ketakbermaknaan) menjadi tema sentral ‘Arwah Goyang Kerawang’. Hemat saya, film bertema seks-horor bukan barang baru dalam dunia perfilman kita. Jauh sebelumnya, pada dekade 80-an film-film bertema serupa sudah menjadi primadona penonton bioskop tanah air. Serupa kembali ke masa itu, Arwah Goyang Kerawang tidak hanya membuat kita mengernyitkan dahi, tetapi juga menagih makna dari apa yang mesti harus diberikan.
Pertanyaan kuncinya adalah ‘Menonton Lonte, mendengar ‘Lonte teriak Lonte’, memaknai Apa?’ Kita tidak memaknai apa-apa, justru sebaliknya kita menyaksikan seksualitas, kelamin-kelamin dan lendir-lendir yang tertampil-gambarkan dari dan dalam gaya busana dan ekspose tubuh ‘nyaris’ telanjang-merangsang. Kita tidak mendengarkan apa-apa, selain kata dan kalimat yang pekat-vulgar-kasar yang terlontar-lepas tanpa makna. Kita tidak dihadapkan dengan realitas yang sebenarnya, tentang dunia dan kehidupan, tentang relasi dan tanggungjawab, justru sebaliknya dengan setan dan para arwah gentayangan. Singkatnya bahwa kita tidak mendapatkan apa-apa selain hanya ‘segepok’ ke-bodoh-an, sebuah hiburan yang tidak menghibur.
Saya, rupa-rupanya salah duga, munculnya film-film serupa ‘Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan selanjutnya Sang Pencerah sudah menjadi tonggak baru dunia perfilman tanah air. Namun dugaan saya salah, munculnya film-film seks-horor yang tiba-tiba berkelebat bagai hantu karena pandai membaca pangsa pasar dan hasrat penonton justru menjadi ‘nila’ bagi tonggak sejarah perfilman tanah air yang berkualitas dan berbobot.
Seharusnya, jika kita sadar sungguh, lebih-lebih para pelaku dan actor perfilman tanah air, mulai dari produser sampai pemain, menyadari secara serius-sungguh problema yang sedang diderita-dialami bangsa ini, maka kita seharusnya bisa memberi andil yang lebih untuk perubahan bangsa-negara ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Bukan sebaliknya menambah beban moral dan menebar-tontonkan keresahan dan ketololan, sehingga apa yang dicita-citakan untuk mencipta-bentukkan sebuah bangsa yang sejahtera dan beradab sulit tercapai.
‘Arwah Goyang Kerawang’ dan film-film sejenisnya menjadi refleksi kita bersama sebagai warga bangsa untuk tidak menambah masalah di atas masalah, menambah beban di atas beban, atau luka di atas luka. Bahwa di tengah situasi yang nyaris hilang rasa peka, peduli, saling percaya, dan bahkan apatis terhadap berbagai pesoalan kebangsaan, sesungguhnya bangsa kita sedang sakit. Lantaran itu, model dan bentuk penghiburan pun haruslah yang menghibur dan mendidik, membangun, memotivasi dan menguatkan, bukan sebaliknya mempertontonkan hiburan yang tidak menghibur yang seolah-olah warga bangsa ini adalah kelamin-kelamin dan para arwah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H