Mimpi tentang sebuah kematian yang indah, walau sebenarnya tidak seperti fakta. Corrie mati secara tragis, pada puing dan rerentuhan ruangan. Tiada air selain gelas-gelas berserakan jadi beling, dengan air berhamburan. Corrie tak berbaring di atas futon, tetapi di bawah Buldozer Caterpilar D-9 yang berubah wujud serupa batu penggilas. Tiada pakis di sekelilingnya, pun tiada bunga-bunga. Bahu dan kepalanya remuk, menjadi tak layak untuk wadah yang ditumbuhi pohon kecil. Seperti menuju ke dasar samudera, Corrie meninggal dalam kelam.
Sebagai sebuah keyakinan ada pertanyaan tersisa: Apakah Corrie di surga? Pada bagian pengantar buku Corrie edisi bahasa Indonesia, Goenawan Mohamad sudah menjawab: saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga. Aku pun meyakini itu karena totalitas Corrie dalam pelayanannya telah mengantarnya menuju jendela teluk, melihat laut lepas, semua terlihat menjadi sorotan sinar. Surga.
Di sanalah perdamaian yang sesungguhnya ada, keadilan yang kekal tercipta, dan kesejahteraan yang abadi terwujud. Dalam dunia, tentang semua itu, kita hanya menemukannya dalam mencari dan terus menjadi. Seperti Corrie yang telah mencari sampai meninggal dengan cara yang tragis, kita pun diwajibkan untuk mencarinya pula, sebab sejatinya kehidupan adalah sebuah pencarian tanpa henti.
Catatan: Let Me Stand Alone, di-Indonesiakan dengan ‘Biarkan Aku Berdiri Sendiri’, diterbitkan oleh Media Publisher, 2008. Pada terbitan Indonesia, Goenawan Muhamad memberikan catatan. Sumber utama tulisan ini: http://krisbheda.wordpress.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H