Mohon tunggu...
Kris da Somerpes
Kris da Somerpes Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

pendiri dan pengampu media sastra online: www.floressastra.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Bukan Bangsa Para Binatang

6 Februari 2010   10:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak sakit hati, kesal, marah dan atau kebakaran jenggot jika diidentikkan, diibaratkan, disamakan, disimbolkan dengan binatang. Sejak munculnya 'perkelahian' antara KPK dan pihak Kepolisian berkaitan dengan kasus Chandra dan Bibit, serentak muncul pula kisah 'Buaya vs Cicak'. Siapa cicak? Siapa buaya? Sama-sama binatang berkaki empat, bertaring dan berekor? Buaya yang mana? Buaya darat? Cicak yang mana? Cicak rumah atau phon?

Mereduk 'Cicak vs Buaya' lantas mucul gurita. Sudah pernah lihat gurita? Binatang menyeramkan yang tinggal di dasar laut? Punya tinja hitam? Berjari-jari lentur yang kuat? Gurita adalah binatang paling bodoh yang saya kenal. Ketika masih kecil dan tinggal di kampung di pesisir laut Sawu pulau Flores-NTT. Kami sering mencari gurita.

Caranya mudah saja, ketika matanya menangkat besi tajam yang diarahkan kepadanya, si bebal bukannya menjauh atau lari, tetapi sebaliknya justru mendekat dan mencekeram. Pada saat yang sama dengan gesit kami menghujam, menusuk dan mencincangnya. Tinja dimuncratkan kemana-mana, membuat laut jadi pekat. Tapi apa daya sebuah besi berujung runcung sudah menyobek tubuhnya. Dengan senang hati kami menghelanya ke darat, menjemurnya di atas batu panas.

Sedemikian itukah yang dimaksud "Membongkar gurita Cikeas?" jari-jarinya kuat, bisa meremukkan cangkang penyu, tetapi di balik keperkasaannya dia begitu bebal, mudah terprovokasi, mudah dimakan umpan amarah, mudah dipengaruhi niat busuk dan pertempuran, walau akhirnya dia terkulai-terkapar tidak berdaya.

Tidak habis sampai di binatang perkasa dan bebal bernama 'gurita'. Muncul belakang adalah binatang lugu yang lain: Kerbau. Masyaallah...binatang apa lagi ini? Mau diidentikan dengan siapa lagi? Atau simbolisasi atas siapa atau dengan apa lagi? Seperti kerbau dicocok hidung? Seperti itukah SiBuYa? Suka mandi lumpur dan berlama-lama berendam di kubangan kah SiBuYa itu? Ditmpar pantatnya tapi tetap saja bebal dan tidak menurut, seperti itukah SiBuYa?

Kita bukan bangsa para binatang. Kita adalah manusia yang beradap. Sampaikan pendapat, kekecawaan, ketidakpuasan, amarah, benci dan dendam dengan santun dan trukur. Menyampaikan kekesalan dan kekecewaan dengan analogi binatang bagi saya bukan pengungkapan yang etis dan elok justru sebaliknya jauh dari nilai-nilai moral dan etika hidup sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun