Mohon tunggu...
kris bheda somerpes
kris bheda somerpes Mohon Tunggu... -

Menulis yang terhempas dan terbuang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kepada Asap, Kepada Ampas

11 Juli 2010   19:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:56 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan wajah yang selalu murung lelaki itu duduk di kursi paling sudut, tidak lebih satu meter dari kompor, api, air, kopi dan gula. Setiap hari dia selalu di situ seperti berdoa. Asap rokok mengepul-ngepul serupa dupa. Jarinya menari-nari seperti mengurai biji tasbih. Hanya sirih pinang yang dikunyahnya, yang mebuat dia tampak kuat. Rahangnya tampak kokoh. Murung dan juga sedih yang terukir dari kerut dahinya seperti runtuh dan luruh pada ampas kunyahannya yang dia buang tidak jauh dari sisi kanan badannya.

“Rokok” hanya sepatah kata itu. “Kopi” juga hanya sepatah kata itu. Berselang beberapa menit kemudian, seorang pelayan bertelanjang dada mengantarkan kepadanya dua pesanan itu. Sebungkus jisamsu sepuluh ribu dan segelas kopi tiga ribu.

Sebatang demi sebatang disulutnya, seteguk dua teguk kopi ditenggaknya. Asap mengepul-ngepul, abu rokok memanjang melekat erat jadi batangan debu. Tidak juga amblas dari puntungnya. Terbaca, kalau kehancuran, kesedihan, kedukaan itu begitu kuat melekat dalam rasanya. Pada asap yang selalu membasuh wajahnya, terbaca juga kalau tak ada jalan keluar, tak ada solusi, tak ada harapan. Pekat.

Kepada pekat kopi dan pengap asap rokok dia melarikan diri. Serupa itu setiap hari. Seperti bercerita kepada asap, bertutur kepada kopi, dia melepaskan sesak rasanya. Kepada kopi  yang kian dingin dan berampas gelap dia benamkan diri. Kepada rokok, pekat asap dan debu abunya dia mengadu.

Mengapa kepada sesuatu yang terkutuk dia melepaskan semua rasanya. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan ampas-ampas kopi itu menindihnya. Kian hari, kian berat. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan asap-asap itu menarik jiwa dari raganya. Kian hari, kian sekarat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun