"Kritik tanpa solusi seperti menabur garam di tengah samudera"
Pada 8 Februari 2021 Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk turut aktif menyampaikan kritik atas pelayanan yang dilakukan pemerintah.
Pernyataan sang presiden mendapatkan tanggapan dari banyak tokoh. Mulai dari mantan wakilnya pada periode 2014-2019, Jusup Kalla yang menanyakan bagaimana caranya memberikan kritik agar tidak ditangkap polisi.
Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono memberikan analogi bahwa kritik ibarat obat yang pahit namun berguna bagi kesehatan. Dan pujian seperti gula yang manis namun berbahaya jika dikonsumsi berlebih.
Sedangkan mantan menteri era Presiden Megawati Soekarno Putri, Kwik Kian Gie mengaku lebih nyaman memberikan kritik di zaman Soeharto. Di zaman reformasi ini ia mendapatkan serangan dari para buzzer ketika mengunggah kritik via Twitter.
Wacana Revisi UU ITE
Banyaknya tanggapan miring membuat Jokowi senewen dan berwacana untuk merevisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Rupa-rupanya pasal ini yang dipermasalahkan karena di duga berpotensi menjadi pasal karet.
Ya pasal yang menimbulkan multi tafsir dan dapat dimanfaatkan sebagian orang kuat untuk menjerat para pengkritik. Bunyi pasal itu misalnya mengenai pencemaran nama baik, penghinaan, kebencian atau permusuhan.
Sebenarnya di era teknologi informasi saat ini dengan banyaknya media sosial dengan berbagai variasi konten perlu diatur agar para warga net dapat berkomunikasi dengan santun.
Sesuai dengan semangat kebebasan yang bertanggung jawab dan menjunjung tinggi norma budaya timur, saling menghormati, menghargai dan menjaga keutuhan bangsa.
Lemah dalam Implementasi
Harus di akui dalam pelaksanaannya ada beberapa penyimpangan yang dilakukan aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan.
Namun kita juga melihat masih begitu banyak unggahan dengan kata-kata kotor, kasar, hujatan, makian yang diarahkan pada pihak tertentu, tetapi mereka ini lolos dari jerat hukum.