Berbicara masalah pernikahan pasti banyak kisah yang dapat diceritakan. Dua insan yang awalnya tidak saling mengenal kemudian pacaran dan hidup bersama.
Sewaktu pacaran dapat dijalani bersama dengan penuh kebahagiaan karena masing-masing dapat menutupi kelemahannya dan berusaha memunculkan kelebihan-kelebihan.
Namun berjalannya waktu ketika cinta mulai pudar dan kelemahan mulai terlihat terkadang persoalan timbul. Di sini dibutuhkan kedewasaan untuk menerima kekurangan pasangan.
Pasangan yang dapat menahan diri dan bersedia untuk memberikan kebahagiaan akan berjalan aman. Tetapi ada sebagian yang harus kandas karena terlalu menuntut pasangan sempurna. Selain itu perbedaan budaya dapat menjadi pemicu konflik rumah tangga.
#Budaya Jawa
Untuk menghindari kesalahan dalam memilih pasangan, biasanya orang tua menerapkan  kriteria-kriteria tertentu kepada calon menantu. Dalam budaya Jawa di kenal istilah bibit, bobot dan bebet.
Bibit dapat diartikan sebagai benih, untuk mendapatkan buah yang baik maka benihnya harus yang bagus. Untuk mendapatkan keturunan yang baik maka diperlukan orang tua yang jelas asal usulnya.
Kemudian bobot di maknai sebagai nilai seseorang yang berhubungan dengan pendidikan, perilaku, kepribadian, keahlian dan sebagainya. Semakin memilik nilai yang tinggi akan menaikkan nilai jual seseorang.
Selanjutnya bebet dihubungkan dengan status ekonomi jika itu diterapkan untuk orang tua. Sedangkan untuk anaknya dapat dilihat dari pekerjaan, jabatan atau usahanya.
Anak yang mempunyai pekerjaan atau usaha yang mapan menjadi pertimbangan yang positif bagi orang tua.
#Pernak Pernik Pernikahan
Okay sebenarnya saya tidak ingin membahas masalah pernikahan dan latar belakang budaya. Namun seputar pernak-pernik pernikahan yang menggelikan dan menjadi kesan tersendiri, mungkin ini juga di alami oleh Anda yang sudah menikah.
Bahwa perbedaan budaya terkadang memunculkan kisah-kisah lucu menjadi penyedap dalam berumah tangga, dan bukan menjadi suatu masalah
Membantu Biaya Adik
Tidak dapat dipungkiri keluarga dengan banyak anak akan menjadi beban berat orang tua dalam membiayai sekolah anak-anak. Sehingga kakak yang sudah bekerja sedapat mungkin membantu meringankan beban orang tua.
Sampai di sini ada kesamaan budaya antara keluarga saya dan istri. Tetapi ada sedikit perbedaan dalam mengatur  keuangan.
Di keluarga saya kakak yang sudah bekerja akan memberikan bantuan kepada orang tua, dalam hal ini uang akan diserahkan kepada ibu. Dan ibu yang mengatur keuangan untuk biaya anak-anak yang masih sekolah.
Sedangkan di tempat istri saya agak berbeda dalam mendistribusikan uang, yaitu tidak diberikan kepada orang tua, tetapi langsung diserahkan kepada adik-adik yang masih sekolah. Walaupun saya sempat terkejut tetapi kemudian saya dapat menerimanya.
Pinjam Pakaian
Di dalam budaya keluarga saya saling meminjam baju antar saudara diperbolehkan selama meminta izin terlebih dahulu. Artinya kalau memakai baju tanpa izin yang empunya itu melanggar aturan.
Sementara dalam budaya keluarga istri peraturan itu tidak berlaku. Siapa pun dapat memakai baju saudara tanpa melalui izin dari pemiliknya.
Perbedaan aturan itu yang menjadi salah paham, karena adik ipar memakai baju saya tanpa izin. Semula saya sedikit kesal, namun cepat-cepat istri menjelaskan mengenai budaya keluarganya, dan akhirnya saya dapat memahami.
Mengutamakan Kakak atau Adik?
Saya dan istri sama-sama mempunyai banyak saudara, sehingga momen berkumpul keluarga besar menjadi seru baik di rumah orang tua atau di rumah mertua.
Yang menjadi masalah jumlah kamar tidur tidak mencukupi karena anak banyak. Sehingga harus ada yang mengalah tidur di luar yaitu di ruang keluarga/tamu.
Pada waktu kami menginap di orang tua, sebagai anak bungsu kami mengalah tidur di luar karena sesuai aturan bahwa yang tidur di kamar adalah anak nomor 1 sampai 3 sesuai dengan jumlah kamar yang tersedia.
Di dalam hati saya berkata okey di rumah ini saya anak bungsu dan harus mengalah, coba nanti kalau saya menginap di mertua sebagai menantu anak sulung, saya akan balas dendam dan tidur di dalam kamar.
Benar begitu tiba di rumah mertua langsung koper saya masukkan ke dalam kamar, tentu memilih kamar yang paling bagus plus membayangkan tidur di dalam kamar.
Namun belum sampai malam tiba istriku memberi tahu bahwa sesuai dengan budaya mereka yang tidur di kamar diprioritaskan untuk anak-anak dari urutan paling bawah.Â
Waduh, apes bener momen balas dendam tak terwujud. Mau menginap di rumah orang tua atau mertua sama saja harus tidur di luar :)
Waktu itu masih pengantin baru lagi :)
***
Itulah perbedaan budaya yang membutuhkan pengertian antar pasangan. Selama tidak prinsip dan dalam batas toleransi jangan diperbesar menjadi masalah yang akan memperburuk hubungan suami istri.
Komunikasi dan keterbukaan menjadi kunci, untuk menghindari salah paham. Tetapi sebaliknya perbedaan budaya akan memberikan warna dan kesan tersendiri dalam berumah tangga. Adakah Anda memiliki kisah serupa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H