Menurut sebuah penelitian ternyata kaum hawa lebih dominan dalam memutuskan pembelian barang atau layanan. Mereka yang membuat anggaran rumah tangga, mengelola keuangan, sekaligus memiliki rekening di bank.
Sudah hampir 10 bulan kita menghadapi wabah pandemi Covid-19, banyak aktivitas yang dilakukan di dalam rumah.
Dampak dari wabah tersebut telah mengubah perilaku konsumen (consumer behavior). Dari aktivitas yang biasanya dilakukan secara offline 'tatap muka' menjadi online.
Dalam hal bekerja, tidak harus bertemu langsung, tetapi bekerja secara on line. Bahkan beberapa perusahaan masih menerapkan Work From Home.
Mengenai strategi promosi, banyak perusahaan yang mengalihkan promosinya secara digital marketing, iklan online dan memanfaatkan media sosial.
Untuk berbelanja banyak yang memakai e-commerce, apalagi ditambah dengan banyaknya program-program promosi misalnya Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) setiap tanggal cantik.
Selama ini konsumen terbantu dengan banyaknya pilihan barang dengan berbagai kualitas dan penawaran yang menarik, misalnya diskon, kupon belanja dan bebas ongkos kirim.
Barang-barang yang dibutuhkan konsumen selama pandemi biasanya seputar produk kesehatan, makanan/minuman dan perlengkapan hobi. Mereka juga tidak bergantung pada produk-produk terkenal, tetapi terkadang cukup produk-produk rumahan.
Banyaknya karyawan yang terkena PHK kemudian mencoba usaha baru, untuk mempertahankan kehidupan. Pangsa pasar mereka adalah teman-teman atau saudara melalui sosial media. Cara ini lebih efektif karena saling mengenal dan pembeli bertujuan untuk membantu penjual.
Perubahan perilaku konsumen selama 10 bulan terakhir telah membentuk budaya baru dalam berbelanja. Apakah perilaku ini akan terus berlangsung, walaupun pandemi sudah berakhir?
Jawabnya membutuhkan waktu untuk kembali pada budaya lama yang banyak dilakukan secara bertatap muka. Atau budaya baru akan bercampur budaya lama dan lahirlah  budaya yang benar-benar baru.
Perubahan Perilaku Konsumen
Di dalam buku Marketing for Competitiveness, karangan Philip Kotler, Hermawan Kartajaya dan Hooi Den Huan, halaman 27 dan 28. Bahwa saat ini khususnya di kawasan Asia telah terjadi perubahan sub budaya konsumen.
Perubahan sub budaya itu terjadi karena kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, ditandai dengan meningkatnya penggunaan smarphone dan akses internet. Banyaknya aktivitas media sosial telah turut mengubah proses bisnis.
Demikian juga hadirnya generasi Milenial di era reformasi dapat menggeser dominasi para orang tua yang sebelumnya menjadi penentu keputusan pembelian.
Pengaruh dari emansipasi wanita yang dicetuskan oleh RA Kartini pada masa penjajahan telah menuai hasil, terbukti banyak tokoh wanita menduduki posisi penting mulai dari direktur, komisaris, kepala daerah, menteri, anggota DPR bahkan Presiden. Singkatnya kaum Hawa mempunyai posisi yang cukup strategis.
Gambar sub budaya dari Marketing for Competitiveness terdiri dari:
#1. Youth 'Anak Muda'
Meningkatnya jumlah Generasi Muda mulai berani menantang Senior 'Generasi Tua' yang populasinya mulai menurun. Generasi Muda atau yang biasa dikenal Generasi Milenial lebih pintar, mereka ini para lulusan pendidikan tinggi.
Karena kepintarannya dapat mengarahkan pikiran dan melakukan, karena terbiasa dengan rasa dan tanggapan (sense & respond). Berbeda dengan Generasi Tua "Baby Boomers" yang cenderung memerintah dan mengendalikan.
Generasi Milenial adalah anak-anak muda yang dinamis, dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan eksternal yang begitu cepat.
#2. Women 'Kaum Perempuan'
Di dalam lingkup keluarga peran perempuan begitu menonjol, khususnya keputusan-keputusan keluarga dalam membeli barang dan memilih layanan.
Menurut laporan yang di rilis oleh EIU dengan tajuk "Konsumen Perempuan di Asia tahun 2014" menunjukkan bahwa 67% wanita Asia mempunyai rekening bank, dan 48% mempunyai kartu kredit.
Sebagian besar bertanggung jawab atas anggaran rumah tangga, pakaian dan aksesoris dan kebutuhan anak. Mereka juga berperan dalam membuat keputusan atas pembelian barang elektronik dan travelling.
Di lingkup ruang publik kaum wanita juga banyak terlibat dalam pembentukan opini, sebagai testimoni atas produk/layanan dan aktivitas promosi melalui sosial media khususnya dari mulut ke mulut. Dengan demikian perempuan mempunyai peranan penting dalam mengelola pasar (managing the market).
#3. Netizens 'Warga Internet'
Sub budaya ke tiga adalah warga net yang dapat mengubah dari dunia maya menjadi dunia nyata 'Citizens' atau masyarakat.
Opini publik yang terbangun bukan hanya ditentukan oleh konsumen dan perusahaan, namun penetrasi warga net di sosial media. Ia dapat memproses secara mendalam & luas (deep & wide) atas produk atau layanan.
Proses komunikasi ini dapat menggerakkan jutaan orang sehingga peran Netizens memainkan peran penting dalam mengelola hati (organizing the heart).
***
Mencermati perubahan sub budaya di era pandemi ini dan menuju sub budaya baru pasca pandemi, maka perusahaan perlu mempertimbangkan dalam membuat strategi promosi.
Promosi yang disampaikan kepada publik bersifat komunikasi dua arah yang berfokus pada Generasi Milenial. Gunakan media iklan yang biasanya digunakan Generasi Milenial.
Begitu pula brand ambasador pilihlah yang dapat mewakili generasi tersebut, walaupun tentunya perlu mempertimbangkan produk atau layanan yang di tawarkan.
Terakhir perlu dipahami bahwa Netizens ikut mengawasi kinerja produk atau layanan, maka perusahaan harus hati-hati dalam melakukan komunikasi, terlebih dalam menangani keberatan konsumen.
Rujukan:
Marketing for Competitiveness, Philip Kotler, Hermawan Kartajaya dan Hooi Den Huan, Bentang Pustaka, Jogjakarta 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H