Laporan keuangan PLN tahun 2019 membukukan pendapatan sebesar Rp. 285,6 Triliun, sementara pengeluaran sebesar Rp. 315,4 Triliun, artinya PLN merugi Rp. 29,8 Triliun.
Untuk menutup itu pemerintah mengucurkan dana dari APBN sebesar Rp. 73,9 Triliun. Dari jumlah tersebut dikeluarkan oleh PLN sebagai subsidi dan potongan tarif golongan tertentu sebesar Rp. 51,7 Triliun.
Sedangkan Rp. 22,2 Triliun untuk kompensasi sebagai akibat tidak naiknya tarif listrik dan pelaksanaan pembangunan listrik 35 ribu megawatt.
Dengan menjalankan bisnis yang sebagian merupakan penugasan dari negara ini, maka di penghujung tahun 2019 PLN mencatat mendapatkan Rp. 44,1 Triliun. Pendapatan yang sebenarnya diperoleh setelah pemerintah mengeluarkan APBN sebesar Rp. 73,9 Triliun.
Sampai di sini barangkali tidak ada masalah karena pemerintah memang mengatur tarif listrik, sehingga tarif yang ditentukan PLN tidak murni pertimbangan bisnis.
 Tetapi yang bisa dipertanyakan adalah besar kecilnya biaya operasional yang pada akhirnya akan mempengaruhi berapa yang harus ditutup oleh APBN.
Mengapa PLN Harus Membeli Batu Bara Lebih Mahal?
Menurut data sebanyak 61% pembangkit listrik di Indonesia bersumber bahan baku batu bara yang diberi dari perusahaan nasional. Meskipun membeli dari pengusaha Indonesia namun PLN harus membayar dengan mengacu mata uang dolar.
Maka PLN akan lebih besar membayar ketika rupiah melemah. Selain itu harga batu bara yang dibeli PLN lebih mahal dibandingkan harga yang dijual ekspor ke Tiongkok dan India. Apakah ada permainan? PLN membeli dari sumber dalam negeri sendiri dan di peruntukan rakyat Indonesia tetapi lebih mahal dibandingkan harga ekspor.
Selisihnya bisa mencapai Rp. 225 ribu untuk 1 ton batu bara. Padahal pemakaian batu bara pada 11 tahun terakhir mencapai 473 juta ton, sama dengan Rp. 100 Triliun, atau rata-rata per tahun selisihnya Rp. 9 Triliun. Melihat temuan seperti ini mana mungkin PLN bisa untung?
Jadi penyebab PLN Merugi adalah:
#1. Kurs transaksi batu bara menggunakan mata uang dolar, walaupun dari pemasok dalam negeri. hal ini menyebabkan ketika rupiah melemah, PLN harus membayar lebih tinggi, sementara PLN menjual ke masyarakat berdasarkan rupiah. Pertanyaannya Mengapa transaksi tidak berdasarkan kurs rupiah, sebagai bukti kecintaan pada mata uang dalam negeri?
#2. Ketersediaan berlebih (over supply) sebagai akibat perjanjian take or pay, dipakai atau tidak harus membayar sesuai batas minimal pemesanan. Mengapa perjanjian tidak diubah pemesanan sesuai pemakaian supaya tidak terjadi over supply?
#3. PLN membeli batu bara lebih mahal dari pada batu bara yang diekspor ke Tiongkok dan India, sungguh suatu ironi yang kita tidak mengetahui jawabannya, kira-kira ada apa dibalik perbedaan harga ini?Â
Sungguh disayangkan salah satu perusahaan BUMN yang dipercayakan pemerintah untuk mengelola sumber daya alam dan dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak, telah disalahgunakan oleh para oknum pengusaha batu baru untuk mengeruk keuntungan pribadi.Â