Satu dari seribu orang di dunia ditemukan sakit skizofrenia. Masyarakat awam biasanya menyebut penyakit ini sebagai gangguan jiwa. Apabila keadaan lebih parah dikategorikan orang gila.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan penderita berhalusinasi, delusi, berpikir kacau dan perilaku berubah. Penderita kesulitan untuk membedakan antara kenyataan dan apa yang dipikirkan.
Menurut data Word Health Organization (WHO) ada 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Dan 50% dari penderita itu mengalami gangguan mental lainnya yaitu penyalahgunaan NAPZA, depresi dan cemas. Di Indonesia data dari Kementerian Kesehatan RI mengungkap 15% penderita mengalami pemasungan yang dilakukan keluarganya.
Gejala-gejala Skizofrenia
#Halusinasi, penderita merasa mendengar seseorang berbicara kepadanya. Suara itu bisa memerintahkan penderita melakukan sesuatu yang tidak masuk akal.
#Delusi, penderita terkadang mempunyai keyakinan yang salah. Misalnya ada orang yang mengejarnya dan mau membunuh.
#Perkataan membingungkan, penderita sering kali mengalami kesulitan berpikir. Sehingga kalau diajak berbicara sering tidak menyambung, antara pertanyaan dan jawaban. Dia akan berbicara ngelantur dan sulit untuk dihentikan.
#Gelisah, adakalanya penderita gelisah, tetapi juga bisa terdiam. Ketika seorang diri seolah-olah dia sedang berbicara, tersenyum dan adakalanya menangis.
#Hobi yang dulunya sering dilakukan, tidak lagi disukai. Tidak mempedulikan penampilan dan kebersihan diri, biasanya malas untuk mandi. Kalaupun dia lakukan hanya sekedarnya saja.
#Mengurung diri dari keluarga dan teman-temanya, sensitif dan tidak mempedulikan lingkungan. Jam tidur juga terganggu.
#Hilang harapan, tidak bergairah menjalani kehidupan. Depresi dan ketakutan pada keramaian. Serta cemas yang berlebihan.
Penyebab Skizofrenia
#Genetik, keturunan dari pengidap skizofrenia memiliki potensi 10% terkena skizofrenia. Apabila kedua orang tua mengidap skizofrenia maka risiko akan meningkat menjadi 40%.
#Komplikasi saat kehamilan, seperti terpapar racun atau virus, perdarahan serta kekurangan nutrisi. Struktur otak dan sistim syaraf pusat yang tidak normal dan penggunaan obat terlarang.
Pengalaman Saudara
Ada kisah ketika seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Kala itu kampus mengadakan seleksi tugas belajar ke Belanda.
Dia mengikuti seleksi itu sampai tahap terakhir, dan tentu sangat berharap bisa lolos. Sudah membayangkan kuliah di salah satu negara Eropa yang maju.
Keluarga juga mendukung dan sangat bangga apabila mendapatkan kesempatan yang berharga itu. Waktu itu tahun 1978 masih terbilang langka belajar di negeri kincir angin.
Namun malang tak dapat ditolak, Dia gagal dalam seleksi akhir, tanpa menyebutkan penyebab kegagalan. Pemuda itu stres berat, pikirannya goncang dan tidak mau melanjutkan kuliah, padahal sudah semester akhir.
Anak muda ini dikenal mudah bergaul, rajin belajar dan terbilang cerdas dari sekolah dasar sampai diterima di perguruan ternama. Di rumah mau membantu orang tuanya dan kehidupan agamanya relatif taat.
Tetapi peristiwa itu membuat kepribadiannya berubah. Dari sifat riang menjadi pendiam, kalau berbicara tidak mau mengalah. Menganggap pendapatnya paling benar, dan merasa dia lebih pandai dibanding lainnya.
Keluarga sempat membawa ke rumah sakit jiwa, dan diberikan obat-obatan. Namun dia selalu menolak dan marah-marah karena dia merasa tidak sakit jiwa. Sehingga keluarga jera dan tidak membawanya ke rumah sakit jiwa lagi.
Apabila bertemu dengan saudara lama, memorinya akan diingat kembali dan membuat keributan. Demikian juga kalau berbicara dan memicu perselisihan, dia akan marah dan merusak barang. Pernah marah besar sampai membuang pesawat televisi ke sungai, karena memberitakan berita tidak benar.
Sejak tahun 1990-an atau dia berusia 40 tahun lebih nyaman tinggal di saudaranya di Jakarta daripada tinggal di rumah bersama orang tuanya di kampung. Dia sempat bekerja di sebuah bengkel milik saudaranya tapi hanya berlangsung sekitar tujuh tahun.
Pernah suatu kesempatan dia ingin pulang ke tempat tinggal orang tuanya di daerah Jawa Tengah. Saudara melarangnya karena khawatir akan mengamuk di rumah orang tua.
Tetapi apa yang terjadi dia nekat pulang dengan berjalan kaki, sampai telapak kaki melepuh, tubuhnya kumal dan bau menyengat. Sebenarnya keluarga merasa iba tetapi tidak tahu bagaimana menyembuhkannya.
Perawatan di Rumah Sakit Jiwa
Dan tahun 2019 silam karena saudara yang di tempati tidak kuat lagi, maka dia dibawa ke rumah sakit jiwa. Kebetulan rumah sakit jiwa itu bersebelahan dengan rumah sakit biasa. Sehingga dia tidak menaruh curiga.
Usia penderita ini sudah menginjak senja yaitu hampir 70 tahun. Dan sudah cukup lama mengidap gangguan jiwa yang tidak pernah di obati.
Saya sendiri ikut mengantar bersama saudara dan saya katakan sebelum pulang mudik, harus diperiksa terlebih dahulu supaya sehat. Nanti kalau sudah sehat bisa pulang ke Jawa.
Untung dia menurut dan tidak mengamuk, tetapi halusinasi masih nampak sekali dari kata-katanya yang kacau. Kami yang mengantar ditanya kronologisnya dan gejala-gejalanya oleh perawat yang bertugas.
Kami sampaikan apa adanya penyebabnya dan perilakunya selama ini. Dan perawat yang berjaga mengatakan kalau saudara saya itu mengidap skizofrenia. Saya lantas bertanya seputar penyakit itu dan bagaimana pengobatannya.
Perawat itu mengatakan penderita harus rutin menkonsumsi obat dan memeriksakan ke dokter jiwa. Memang tidak bisa menyembuhkan sepenuhnya tetapi minimal dapat menekan halusinasi.
Akhirnya pasien dirawat selama 21 hari sesuai dengan paket BPJS di rumah sakit jiwa. Selama satu minggu keluarga tidak diperbolehkan mengunjungi, agar pasien tidak minta pulang.
Semula kami tidak tega, tetapi perawat meyakinkan kalau dia akan baik-baik saja karena akan diawasi. Tiga hari pasien masuk ruang observasi bersama dengan pasien yang lain. setelah itu baru dipindahkan ke tempat lain sesuai kondisi pasien.
Pasien bergejala ringan ditempatkan terpisah dengan pasien yang berat. Kemudian di kelompokan antara yang berusia lansia dan muda. Saudara saya walaupun menginjak lansia tetapi karena masih sehat secara fisik di gabung dengan pasien-pasien yang masih muda.
Kami mendapat laporan dari rumah sakit kalau pasien tidak berbahaya dan masuk kategori ringan, maka dia ditempatkan satu kamar berdua. Tujuannya adalah supaya pasien dapat bersosialisasi.
Di rumah sakit diberikan kegiatan olah raga setiap pagi dan ibadah sesuai dengan agamanya. Kemudian dilatih ketrampilan menanam atau berkebun. Makan rutin tiga kali sehari dan snack diberikan sebanyak dua kali. Di dalam diawasi 24 jam oleh perawat secara bergantian. Dan ada konsultasi seorang psikolog seminggu dua kali.
Setelah seminggu dirawat saya sempatkan mengunjungi. Saya mengobrol dan sepertinya sudah banyak perubahan perilaku dan cara berpikir. Dan dia merasa kerasan tinggal di rumah sakit, dan malahan belum berpikiran untuk pulang.
Saya juga sempat berkonsultasi dengan perawat yang menangani bahwa dia sudah banyak perubahan. Mandi sudah tidak disuruh lagi dan halusinasi sudah banyak berkurang.
Perawat memberi tahu kiatnya bahwa obat harus selalu diminum rutin dan memberikan kegiatan untuk melupakan masa lalunya.
Tepat 21 hari dirawat di rumah sakit jiwa, pasien kami jemput untuk pulang. Dia kelihatan lebih sehat dan penampilannya cukup bersih.
Perawatan di Panti Rehabilitasi
Tetapi keluarga sudah lelah untuk merawat sementara usia sudah menginjak tua. Akhirnya keluarga memutuskan agar di rawat panti rehabilitasi khusus pengidap gangguan jiwa.
Setelah melakukan survei beberapa tempat, kami menemukan tempat yang cocok yaitu di daerah Magelang-Jawa Tengah. Kebetulan banyak saudara yang tinggal di daerah tersebut sehingga dapat membantu untuk memantau.
Panti rehabilitasi ini menerima pasien gangguan jiwa, narkoba, kenakalan remaja dan okultisme. Kebetulan salah satu kegiatan panti adalah kebaktian secara Kritiani yang sesuai dengan agama yang dianutnya.
Sedangkan kegiatan lainnya adalah olahraga, berkebun, ketrampilan/kesenian dan rekreasi. Kegiatan ketrampilan diberikan agar pasien ketika sembuh dan kembali ke masyarakat telah memiliki bekal ketrampilan.
Panti juga bekerja sama dengan RSJ Magelang, yang mengirimkan dokter psikiater untuk mengontrol keadaan pasien. Sehingga panti tidak hanya memberikan terapi secara sosial tetapi juga pendekatan medis.
Panti rehabilitasi yang tidak jauh dari Rumah Doa Bukit Rhema atau yang dikenal dengan sebutan Gereja Ayam tersebut dikelola oleh yayasan nir laba. Dengan menarik biaya bersahabat sebesar  Rp. 3.500.000,- per bulan all in, tarif tersebut sudah termasuk penginapan, makan, obat-obatan dan kegiatan.
Untuk memantau keadaan pasien kami bisa berhubungan via telepon dan WhatsApp Panti juga memberikan kesempatan kepada keluarga untuk berkunjung.
Keluarga merasa lega satu beban yang mengganggu selama empat puluh tahun ini telah berlalu. Walaupun kami kecewa mengapa tidak dari dulu di masukan ke panti.
Dan sekarang baru tahu ternyata pengidap gangguan jiwa dapat sembuh walaupun tidak seratus persen. Minimal tidak mengamuk lagi, dapat hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain.
Saudara saya sendiri merasa kerasan tinggal di panti. Telah menemukan komunitasnya, menikmati setiap kegiatan, dan yang terpenting kehidupan rohaninya terpelihara.
Rujukan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H