Apa yang mendorong orang tua untuk membagikan momen-momen pribadi anak mereka di media sosial? Apakah hal ini sekadar menjadi tren atau ada tujuan yang lebih dalam, seperti mendidik atau berbagi pengalaman dengan orang lain? Fenomena ini dikenal dengan istilah sharenting, sebuah gabungan antara kata share dan parenting, yang merujuk pada kebiasaan orang tua membagikan foto atau informasi pribadi tentang anak-anak mereka melalui platform media sosial.
Menurut penelitian oleh Livingstone dan Third (2017), sharenting menjadi lebih umum seiring dengan semakin berkembangnya media sosial. Dalam laporan mereka, mereka menjelaskan bahwa hampir 90% orang tua di dunia berbagi informasi mengenai kehidupan anak mereka di platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Aktivitas ini berkembang sebagai cara untuk berbagi kebahagiaan keluarga, serta mendokumentasikan tumbuh kembang anak bagi orang tua yang aktif secara digital.
Perkembangan sharenting tidak lepas dari peran besar media sosial yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, memungkinkan orang tua untuk membagikan momen-momen istimewa dengan keluarga dan teman-teman mereka. Seiring waktu, berbagi tentang anak-anak ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi cerita pribadi, tetapi juga menjadi medium untuk mencari koneksi dengan orang tua lain dan berbagi pengalaman dalam pengasuhan.
Namun, apa sebenarnya motivasi di balik sharenting? Apakah orang tua melakukannya semata-mata untuk menunjukkan gaya hidup mereka, ataukah ada tujuan edukasi yang ingin mereka sampaikan melalui pengalaman mengasuh anak? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk dibahas lebih lanjut, mengingat pengaruhnya terhadap anak-anak dan masyarakat secara lebih luas.
Sharenting sebagai Gaya Hidup
Dalam era media sosial, banyak orang tua yang menjadikan sharenting sebagai bagian dari cara mereka membangun identitas keluarga secara online. Orang tua berbagi foto, cerita, dan momen-momen tertentu dengan tujuan menunjukkan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga mereka. Ini sering kali dilihat sebagai representasi positif dari kehidupan pribadi yang bisa dilihat oleh teman, keluarga, bahkan orang asing di internet. Melalui berbagi momen anak-anak mereka, orang tua tidak hanya memamerkan anak-anak mereka, tetapi juga menciptakan citra keluarga yang ideal di mata publik.
Penting untuk dicatat bahwa hal ini bisa berfungsi sebagai cara orang tua untuk memperlihatkan peran mereka dalam kehidupan anak dan menunjukkan kebanggaan mereka terhadap pencapaian anak. Hal ini seringkali disertai dengan caption yang mengandung pesan emosional atau kebanggaan, menciptakan narasi yang sesuai dengan citra keluarga bahagia yang diinginkan.
Sharenting juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari kebutuhan orang tua untuk menonjolkan kehidupan pribadi mereka dalam dunia maya. Dalam dunia media sosial yang sangat visual dan berbasis pada interaksi, orang tua merasa bahwa berbagi gambar dan cerita tentang anak-anak mereka menjadi cara untuk terhubung dengan audiens yang lebih luas dan memperlihatkan sisi diri mereka sebagai orang tua yang perhatian dan terlibat.
Fenomena ini berkaitan dengan teori identitas sosial yang menjelaskan bagaimana individu mencoba untuk membangun dan memelihara citra mereka dalam masyarakat. Dengan memamerkan kehidupan keluarga yang bahagia melalui sharenting, orang tua tidak hanya membentuk identitas diri mereka sebagai orang tua yang baik, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa norma sosial dan budaya media sosial juga berperan besar dalam mendorong sharenting. Di era digital, ada kecenderungan kuat untuk mengikuti tren dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Banyak orang tua merasa terdorong untuk ikut serta dalam tren berbagi foto dan cerita tentang anak-anak mereka karena melihat orang lain melakukannya.
Tekanan sosial ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang sering memprioritaskan konten pribadi dan emosional, seperti foto keluarga, yang mendapatkan perhatian lebih banyak dalam bentuk likes dan komentar. Hal ini menguatkan dorongan orang tua untuk terus berbagi dan mencari validasi dari audiens online mereka. Dalam beberapa kasus, ini bahkan bisa menjadi kompetisi tak terucapkan antar orang tua mengenai siapa yang bisa memamerkan kehidupan keluarga mereka dengan cara yang paling menarik atau inspiratif.