Dalam sebuah kelas di tengah kota, seorang guru menjelaskan materi pelajaran dengan metode ceramah, sambil memegang buku teks tebal. Di hadapannya, duduk sekelompok siswa yang lebih tertarik pada ponsel dan perangkat mereka dibandingkan dengan papan tulis di depan.Â
Saat guru menyampaikan materi, beberapa siswa terlihat sibuk mencari topik yang sama melalui aplikasi pembelajaran online, berharap menemukan penjelasan yang lebih menarik dan mudah dipahami. Situasi ini memperlihatkan adanya jurang besar antara metode pengajaran konvensional yang digunakan guru dan kebutuhan belajar siswa di era digital.
Dalam beberapa dekade terakhir, lanskap pendidikan telah mengalami perubahan yang signifikan. Perkembangan teknologi digital, perubahan sosial, dan meningkatnya tuntutan keterampilan abad ke-21 mengharuskan sistem pendidikan untuk beradaptasi dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.Â
Transformasi ini mendorong pendidikan untuk beralih dari pendekatan tradisional menuju pendekatan yang lebih kolaboratif, interaktif, dan terfokus pada keterampilan. Pendidikan kini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi juga pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis.
Di tengah perubahan ini, peran guru semakin kompleks. Guru tidak lagi hanya sebagai penyampai ilmu, melainkan juga sebagai fasilitator pembelajaran yang harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang interaktif, mendukung, dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Namun, banyak guru menghadapi tantangan besar dalam beradaptasi dengan tuntutan tersebut.Â
Tantangan seperti keterbatasan akses terhadap teknologi, beban administrasi yang tinggi, serta kurangnya pelatihan yang relevan sering kali menghambat peran guru dalam mengoptimalkan potensi siswa di era modern ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami dan mencari solusi atas isu-isu utama yang dihadapi guru agar dapat mendukung perkembangan pendidikan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masa depan.
Perkembangan teknologi dan akses ke informasi yang luas telah membuat siswa saat ini lebih dinamis dan mandiri dalam belajar. Mereka cenderung mengandalkan platform digital untuk menggali pengetahuan baru, menemukan video interaktif, atau berkolaborasi dengan teman sebaya di media sosial.Â
Namun, di sisi lain, masih banyak guru yang belum mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan cenderung mengandalkan metode statis seperti ceramah dan hafalan. Hal ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara pendekatan pengajaran dan kebutuhan siswa, yang pada akhirnya bisa menghambat proses pembelajaran.
Melalui artikel ini, saya juga sebetulnya sedang mengkritik diri saya sendiri yang terkadang terlena pada comfort zone (gaji cukup dan pekerjaan yang nyaman) sehingga muncul godaan untuk berhenti belajar dan menolak beradaptasi dengan perkembangan zaman. Siapapun yang saat ini berprofesi guru diharapkan dapat memahami mengapa transformasi dalam metode pengajaran perlu dilakukan, sehingga tercipta lingkungan belajar yang relevan dan efektif bagi generasi muda di era digital.
Siswa Dinamis di Era Digital
Siswa masa kini tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi teknologi, sehingga mereka lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan digital dan cenderung mengedepankan pola pikir kritis. Dengan akses informasi yang luas dan mudah melalui internet, mereka bisa belajar kapan saja dan di mana saja, sering kali tidak lagi terbatas pada materi yang diberikan di kelas.Â
Karakteristik siswa modern ini adalah rasa ingin tahu yang tinggi dan ketertarikan pada metode belajar yang interaktif, seperti video pembelajaran, simulasi digital, atau diskusi kelompok yang melibatkan teknologi. Mereka lebih menikmati belajar secara visual dan praktis dibandingkan dengan metode ceramah yang pasif.
Kemajuan teknologi telah mengubah cara siswa belajar dan berkomunikasi, bahkan membentuk kebiasaan mereka dalam mencari informasi. Platform digital seperti YouTube, Wikipedia, dan aplikasi pendidikan interaktif lainnya menjadi alat utama yang mendukung proses belajar mereka di luar jam sekolah.Â
Selain itu, media sosial memungkinkan siswa untuk terhubung dengan teman sebaya atau bahkan para ahli di bidang tertentu, membentuk jaringan pembelajaran yang dinamis dan kolaboratif. Dengan ini, kebutuhan belajar mereka semakin berkembang, membutuhkan dukungan metode yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga merangsang rasa ingin tahu dan kreativitas mereka.
Guru yang Statis dan Metode Pengajaran Konvensional
Sebaliknya, metode pengajaran konvensional yang masih banyak digunakan oleh beberapa guru cenderung bersifat statis dan berpusat pada guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Dalam metode ini, guru biasanya mendominasi jalannya kelas dengan ceramah panjang yang minim interaksi, tanpa banyak melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar.
 Pendekatan seperti ini cenderung monoton, sering kali hanya berfokus pada hafalan dan pemahaman teori tanpa mencoba menghubungkannya dengan aplikasi praktis atau kehidupan sehari-hari. Selain itu, penggunaan teknologi dalam metode pengajaran konvensional ini umumnya sangat terbatas, sehingga membuat pembelajaran terasa kaku dan kurang fleksibel.
Baca jugaa; Guru Masa Kini: Lebih dari Sekadar Pengajar, Menjadi Fasilitator di Era Merdeka Belajar
Dampak dari pendekatan yang statis ini adalah munculnya kejenuhan di kalangan siswa. Mereka menjadi pasif, kurang termotivasi, dan minim keterlibatan dalam proses belajar, karena tidak ada ruang bagi mereka untuk bereksplorasi atau mengajukan pertanyaan kritis.Â
Hal ini memperbesar kesenjangan antara metode pengajaran dan kebutuhan siswa yang dinamis, yang mengharapkan lebih banyak interaksi dan variasi dalam belajar. Akibatnya, banyak siswa yang merasa kurang terfasilitasi dan sulit memahami materi secara mendalam, yang akhirnya menghambat potensi mereka untuk berkembang di era yang menuntut kreativitas dan inovasi.
Mengapa Ketidaksesuaian Ini Menjadi Masalah?
Ketidaksesuaian antara kebutuhan siswa yang dinamis dan pendekatan pengajaran guru yang masih statis menjadi masalah serius dalam pendidikan modern. Siswa masa kini membutuhkan metode pembelajaran yang interaktif dan menantang, yang mampu melatih keterampilan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah.Â
Namun, pendekatan konvensional yang berpusat pada guru dan minim interaksi membuat banyak siswa merasa kurang terfasilitasi dalam mengasah potensi mereka. Hal ini mengakibatkan siswa merasa terbelenggu dan terbatas dalam mengembangkan kreativitas serta keterampilan yang relevan dengan perkembangan zaman.
Dampaknya tidak hanya terasa dalam waktu dekat, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada masa depan siswa. Ketika minat belajar mereka mulai memudar akibat metode yang kurang menarik, mereka akan kesulitan mengikuti perkembangan pengetahuan yang semakin cepat dan kompleks.
 Lebih jauh lagi, tanpa keterampilan berpikir kritis dan kemampuan adaptasi yang kuat, lulusan sekolah akan sulit bersaing dan berkontribusi di dunia kerja yang terus berubah. Ketidaksesuaian ini tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga menghambat pencapaian pendidikan yang lebih luas dalam mempersiapkan generasi muda untuk masa depan yang penuh tantangan.
Solusi Menuju Keselarasan Guru dan Siswa
Untuk mencapai keselarasan antara guru dan siswa, beberapa langkah solusi perlu diterapkan agar proses pembelajaran dapat lebih relevan dan menarik bagi siswa di era digital ini. Pertama, peningkatan keterampilan dan literasi digital bagi guru sangat penting.Â
Dengan pelatihan rutin, guru dapat belajar mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran secara efektif, seperti memanfaatkan platform pembelajaran daring, video interaktif, atau alat digital lainnya yang dapat meningkatkan partisipasi siswa. Literasi digital ini juga memungkinkan guru untuk lebih fleksibel dan kreatif dalam menghadirkan materi yang sesuai dengan minat siswa.
Baca jugaa: Pendidikan Berbasis Student-Centered, Mendidik Tanpa Memanjakan
Selanjutnya, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa harus menjadi fokus utama dalam metode pengajaran. Metode berbasis proyek, kolaboratif, dan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dapat merangsang kreativitas, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan masalah.Â
Dengan metode seperti ini, siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga diajak untuk mengeksplorasi dan memahami materi dengan lebih mendalam dan relevan dengan dunia nyata.
Selain itu, pentingnya adaptasi kurikulum sesuai dengan tuntutan zaman dan gaya belajar siswa saat ini tidak bisa diabaikan. Kurikulum yang fleksibel seperti Kurikulum Merdeka menyediakan ruang bagi guru untuk menyesuaikan metode pengajaran dengan kebutuhan individu siswa dan perkembangan dunia modern.Â
Kurikulum yang berfokus pada pembelajaran bermakna ini memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka, sehingga tercipta lingkungan belajar yang lebih relevan, inovatif, dan mempersiapkan siswa menghadapi tantangan di masa depan.
Baca juga: Kurikulum Nasional Baru: Memilih Menjadi Guru Optimis atau Pesimis?
***
Para pendidik diharapkan terinspirasi untuk terbuka dan berani beradaptasi dengan perubahan, menciptakan lingkungan belajar yang relevan, efektif, dan mendukung kebutuhan generasi muda. Dengan menjadi role model sebagai pembelajar merdeka, guru tidak hanya memberi contoh dalam hal keterbukaan terhadap ilmu baru, tetapi juga menumbuhkan semangat belajar yang terus berkembang pada siswa mereka.Â
Mari bersama kita ciptakan pendidikan yang selaras dengan tuntutan zaman, di mana guru dan siswa tumbuh sebagai pembelajar sejati dalam lingkungan yang dinamis dan inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H