Dalam konteks pendidikan, terdapat perdebatan panjang mengenai apakah anak adalah "tabula rasa" atau tidak. Konsep tabula rasa menggambarkan anak sebagai kanvas kosong yang menunggu untuk diisi dengan pengetahuan dan pengalaman.
Namun, menurut filosofi Ki Hajar Dewantara, pendiri pendidikan Indonesia modern, anak bukanlah sekadar tabula rasa yang pasif, melainkan individu yang aktif dan berpotensi, memiliki warisan budaya dan potensi yang harus dihargai dan dikembangkan.
Apa itu "Tabula Rasa"?
"Tabula rasa" adalah istilah Latin yang secara harfiah berarti "lembaran kosong." Dalam konteks filosofi dan psikologi, istilah ini digunakan untuk merujuk pada ide bahwa pikiran manusia pada saat lahir seperti kanvas kosong, tanpa pengetahuan, pemahaman, atau pengalaman sebelumnya.
Konsep ini menunjukkan bahwa pengalaman dan persepsi individu membentuk pengetahuan dan karakteristik pribadi mereka.
Dalam sejarah pemikiran, filosof John Locke sering dikaitkan dengan pengembangan konsep tabula rasa. Locke percaya bahwa pikiran manusia pada awalnya tidak memiliki konsep, ide, atau pengetahuan, dan kemudian berkembang melalui pengalaman sensorik dengan lingkungan sekitarnya.
Istilah "tabula rasa" juga digunakan dalam konteks pendidikan untuk merujuk pada gagasan bahwa individu memiliki potensi yang tidak terbatas untuk belajar dan berkembang, dan bahwa lingkungan dan pengalaman berperan penting dalam membentuk perkembangan dan pemahaman mereka.
Dalam pendidikan, konsep ini menekankan pentingnya memberikan kesempatan dan lingkungan yang sesuai bagi siswa untuk mengeksplorasi, belajar, dan tumbuh.
Pendidikan menurut John Locke merupakan sebuah pengalaman yang hendak dialami oleh setiap manusia karena mencakup pengembangan karakter kepribadian dari manusia itu sendiri.
Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Menelusuri Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, atau nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, adalah tokoh pendidikan yang memperjuangkan pendidikan yang memerdekakan, yang dikenal dengan konsep "Ing Ngarsa Sung Tulada" (Berpikir Yaitu Berani Bertindak).
Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak tidak boleh dianggap sebagai kanvas kosong, melainkan sebagai individu yang memiliki potensi unik, kecerdasan, dan keunikan pribadi yang harus diperhatikan dan dikembangkan.
Bagi pendidikan Ki Hajar Dewantara, tujuan dari dilakukannya proses pendidikan adalah untuk “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya” (Dewantara, 1961: 20).
Kekuatan kodrat dapat dimaknai bahwa setiap anak sudah memiliki garis potensinya (baik/buruk) masing-masing. Gurulah yang akan turut berperan menebalkan potensi baiknya dalam proses pendidikan di sekolah.
Menghargai Kekayaan Budaya Lokal
Salah satu prinsip penting dalam pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah penghormatan terhadap kekayaan budaya lokal.
Anak-anak tidak harus melepaskan identitas budaya mereka dalam proses pembelajaran; sebaliknya, identitas budaya tersebut harus dihargai dan diintegrasikan dalam kurikulum dan praktik pendidikan.
Ini membantu memperkuat identitas anak-anak dan memungkinkan mereka untuk belajar dengan konteks yang berarti.
Pembelajaran Berbasis Pengalaman dan Interaktif
Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis pengalaman dan interaktif.
Anak-anak belajar dengan cara terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, dengan menggunakan pengalaman langsung dan refleksi untuk memahami dunia di sekitar mereka.
Ini berbeda dengan konsep tabula rasa yang menekankan pada pengetahuan yang diberikan secara pasif kepada anak-anak.
Pembebasan dari Konsep "Tabula Rasa"
Konsep "tabula rasa" mengimplikasikan bahwa anak perlu diisi dengan pengetahuan yang dipaksakan oleh guru atau lingkungan pendidikan.
Namun, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya bertujuan untuk membebaskan potensi yang ada dalam diri anak, bukan untuk menanamkan pengetahuan tanpa pertimbangan terhadap keunikan individu.
Anak-anak memiliki warisan budaya, bahasa, dan pengalaman hidup yang harus dihargai dan diintegrasikan dalam proses pembelajaran.
Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratnya yang unik. Seperti filosofi padi, tidak mungkin pendidik mengubah padi menjadi jagung atau sebaliknya.
Mendidik tidak hanya berbentuk pengajaran yang memberikan pengetahuan kepada murid tetapi juga mendidik keterampilan berpikir, mengembangkan kecerdasarn batin.
Pendidikan pikiran (intelektual) murid sebaiknya dibangun setinggi-tingginya, seluas-luasnya dan selebar-lebarnya untuk mewujudkan perikehidupan lahir dan batin dengan baik-baiknya.
Setiap murid memiliki kekuatan-kekuatan yang memerlukan “tuntutan” orang dewasa. Jadi guru berperan menebalkan potensi baiknya dan menipiskan/menghapus potensi buruknya.
Kesimpulannya, dalam konsep pendidikan yang memerdekakan menurut filosofi Ki Hajar Dewantara, anak bukanlah "tabula rasa" yang pasif, tetapi individu yang aktif, berpotensi, dan memiliki warisan budaya yang kaya.
Melalui penghormatan terhadap keunikan setiap anak dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pengalaman dan interaksi, pendidikan dapat menjadi sarana untuk membebaskan potensi anak dan membangun masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
Oleh: Krisanti_kazan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H