Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Guru - Learning facilitator in SMA Sugar Group

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat dan bercita² menghasilkan karya buku solo melalui penerbit mayor. (Learning facilitator di Sugar Group Schools sejak 2009, SMA Lazuardi 2000-2008; Guru Penggerak Angkatan 5; Pembicara Kelas Kemerdekaan di Temu Pendidik Nusantara ke 9; Pemenang Terbaik Kategori Guru Inovatif SMA Tingkat Provinsi-Apresiasi GTK HGN 2023; Menulis Buku Antologi "Belajar Berkarya dan Berbagi"; Buku Antologi "Pelita Kegelapan"; Menulis di kolom Kompas.com; Juara II Lomba Opini Menyikapi Urbanisasi ke Jakarta Setelah Lebaran yang diselenggarakan Komunitas Kompasianer Jakarta)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena "Thinking Fast" dan "Thinking Slow" di Media Sosial

23 April 2024   16:43 Diperbarui: 24 April 2024   07:04 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Krisanti_kazan

Ketika sebuah berita palsu tentang kecelakaan pesawat terjadi dan tersebar di media sosial, respons "thinking fast" mungkin menyebabkan orang-orang membagikan informasi tersebut tanpa memeriksa kebenarannya lebih lanjut. Hal ini dapat menyebabkan kepanikan di antara masyarakat atau bahkan mengakibatkan kerugian finansial bagi perusahaan penerbangan yang tidak bersalah.

Dalam era digital yang berkembang pesat, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari bagi jutaan orang di seluruh dunia. Namun, dengan kemudahan akses informasi datang pula tantangan baru dalam memahami, menilai, dan menggunakan informasi dengan bijaksana. 

Fenomena "Thinking Fast" dan "Thinking Slow" memiliki dampak yang signifikan dalam cara kita berinteraksi dengan media sosial dan bagaimana hal itu memengaruhi literasi di era digital.

Teori "Thinking Fast vs Thinking Slow" 

sumber: nytimes.com
sumber: nytimes.com

Teori ini dikembangkan oleh psikolog Daniel Kahneman dalam bukunya yang terkenal "Thinking, Fast and Slow". Teori ini menggambarkan dua sistem pemikiran yang berbeda dalam otak manusia: Sistem 1 (Thinking Fast) dan Sistem 2 (Thinking Slow).

Thinking Fast (Sistem 1)

  • merupakan mode pemikiran yang cepat, intuitif, dan otomatis
  • terjadi tanpa usaha sadar atau kontrol yang berarti
  • digunakan untuk membuat keputusan cepat dalam situasi sehari-hari
  • tidak memerlukan upaya kognitif yang besar dan sering kali dipicu oleh rangsangan eksternal atau kondisi tertentu.

Thinking Slow (Sistem 2) 

  • merupakan mode pemikiran yang lambat, analitis, dan reflektif
  • memerlukan usaha sadar, fokus, dan pemikiran yang dalam
  • digunakan untuk pemecahan masalah kompleks, evaluasi informasi, dan pengambilan keputusan yang berbasis pada data
  • dapat menghasilkan hasil yang lebih akurat dan berpikir jauh ke depan tentang konsekuensi dari tindakan atau keputusan tertentu.

Konsep ini memberikan gambaran tentang bagaimana manusia memproses informasi dan membuat keputusan dalam berbagai situasi. Meskipun Sistem 1 (Thinking Fast) biasanya lebih cepat dan efisien, namun dapat rentan terhadap kesalahan atau bias.

Sementara itu, Sistem 2 (Thinking Slow) memerlukan lebih banyak usaha tetapi cenderung menghasilkan keputusan yang lebih baik dan lebih terinformasi.

Fenomena Thinking Fast

"Thinking fast" merujuk pada respons instan dan refleksif terhadap informasi atau situasi tertentu. Ini adalah jenis pemikiran yang cepat dan intuitif, di mana individu merespons dengan cepat tanpa melakukan analisis mendalam atau pertimbangan yang teliti.

Fenomena "thinking fast" sangat relevan dalam konteks media sosial, di mana informasi disajikan dalam format yang singkat dan menarik perhatian dengan cepat.

Dalam konteks media sosial, "thinking fast" sering kali terjadi ketika seseorang merespons postingan, berita, atau pesan dalam hitungan detik tanpa mempertimbangkan kebenaran, relevansi, atau implikasi yang lebih dalam. Respons instan ini dapat dipengaruhi oleh emosi, opini pribadi, atau tekanan dari lingkungan online.

Kecepatan dan kemudahan respons "thinking fast" dapat memicu penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks dengan cepat di platform media sosial. 

Ketika seseorang hanya berfokus pada tanggapan cepat tanpa memverifikasi kebenaran atau keandalan informasi, hal ini dapat menyebabkan penyebaran berita palsu yang merugikan.

Dengan mengakui keberadaan "thinking fast" dalam pengalaman online kita, penting untuk mengembangkan kesadaran diri dan keterampilan kritis yang diperlukan untuk mengevaluasi informasi dengan bijaksana di media sosial. Ini termasuk mengajukan pertanyaan kritis, memverifikasi sumber informasi, dan menahan diri untuk merespons secara impulsif. 

Dengan demikian, kita dapat mengurangi risiko penyebaran informasi yang tidak akurat dan meningkatkan literasi digital secara keseluruhan.

Fenomena Thinking Slow

Di sisi lain, "Fenomena Thinking Slow" melibatkan pemikiran yang lebih dalam dan reflektif. Ini melibatkan analisis mendalam terhadap informasi, penelitian tambahan, dan pertimbangan matang sebelum membuat kesimpulan atau tanggapan.

Namun, di tengah kecepatan dan volume informasi yang ditawarkan oleh media sosial, banyak orang cenderung kurang melibatkan proses "Thinking Slow" ini.

Dalam konteks media sosial, "thinking slow" menjadi penting dalam menghadapi informasi yang kompleks, kontroversial, atau ambigu. Ini melibatkan upaya untuk memahami konteks lebih luas dari suatu pernyataan, mengevaluasi sumber informasi, dan mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tanggapan yang akan diberikan.

Ketika individu melibatkan "thinking slow" dalam interaksi online, mereka lebih cenderung untuk membuat keputusan yang lebih baik dan respons yang lebih berbobot.

Salah satu dampak positif dari "thinking slow" di media sosial adalah kemampuannya untuk mencegah penyebaran informasi palsu atau hoaks.

Dengan mengambil waktu untuk memverifikasi sumber informasi dan melakukan penelitian tambahan, individu dapat menghindari jatuh ke dalam perangkap informasi yang tidak akurat atau tidak dapat dipercaya.

Selain itu, "thinking slow" juga memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dan konstruktif di media sosial. Ketika individu mengambil waktu untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan argumen sebelum memberikan tanggapan, hal ini dapat menghasilkan dialog yang lebih bermakna dan penuh pengertian.

Dampak dari kurangnya partisipasi dalam "Thinking Slow" adalah kurangnya diskusi yang bermakna dan konstruktif di media sosial. Tanggapan yang instan dan emosional sering menggantikan dialog yang mendalam dan penuh pengertian. Ini dapat memperkuat polarisasi dan konflik di dalam masyarakat.

Meningkatkan Literasi di Era Digital

Pentingnya literasi di era digital tidak bisa dilebih-lebihkan. Literasi tidak hanya mencakup keterampilan teknis dalam menggunakan media sosial, tetapi juga kemampuan untuk mengenali informasi yang dapat dipercaya, mengkritisi secara kritis, dan berpikir secara reflektif.

Dengan meningkatkan literasi, individu dapat lebih mampu menavigasi dunia informasi yang kompleks dan memainkan peran aktif dalam membentuk masyarakat yang lebih cerdas dan terinformasi.

Fenomena "Thinking Fast" dan "Thinking Slow" memiliki dampak yang signifikan dalam literasi di era digital. Sementara "Thinking Fast" memungkinkan respons instan dan penyebaran informasi yang cepat, "Thinking Slow" penting untuk analisis mendalam dan pertimbangan matang.

Dengan meningkatkan literasi di media sosial dan mempromosikan pemikiran reflektif, kita dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam era informasi yang terus berkembang ini.

Penting untuk diingat bahwa baik "thinking fast" maupun "thinking slow" memiliki peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari. "Thinking fast" dapat membantu dalam situasi-situasi di mana respons cepat diperlukan, sementara "thinking slow" diperlukan untuk membuat keputusan yang lebih besar dan kompleks. Yang penting adalah mencapai keseimbangan yang tepat antara keduanya, terutama di lingkungan online yang sering kali dipenuhi dengan informasi yang beragam dan cepat berubah.

Dengan menggabungkan keduanya, individu dapat mengembangkan literasi digital yang lebih kuat dan membuat kontribusi yang lebih positif dalam interaksi online mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun