Workshop kedua Dean Yamada dalam 2nd International Christian Higher Education Conference (ICHEC) memaparkan integrasi serta tanggungjawab iman Kristen dalam sinematografi.
Pagi hari pada 17 Juni 2016, para peserta 2ndICHEC sudah memenuhi ruangan tempat diadakannya konferensi. Mereka telah siap untuk mengikuti serangkaian sesi di hari terakhir dari konferensi ini. Workshop yang membuka konferensi hari ini, dibawakan oleh Dean Yamada dengan tema “The Responsibility of an Artist of Faith”. Tidak kalah menarik dengan sesi yang ia bawakan sebelumnya, Yamada membuka dengan sebuah pernyataan.
“Seni adalah ekspresi, untuk semua keinginan kita yang tidak dapat dikatakan”, Yamada mengungkapkan. Dilanjutkan dengan beberapa ayat yang diambil dari Roma, sebagai landasan yang menjadi pijakannya dalam berkarya. Tidak hanya itu, Yamada juga membagi pengalaman pribadinya. “Semua dimulai dengan kecintaan saya terhadap film-film Hollywood. Dulu saya bukan seorang Kristen, namun pandangan saya terhadap perfilman pun berubah setelah saya menjadi orang percaya”, kenang beliau.
Seluruh penonton kemudian hening dan menyimak ketika Yamada memutarkan film pertamanya. Sebuah film hitam putih, tanpa dialog, fokus kepada seorang atlit lompat indah yang sedang menunjukkan kebolehannya. Meskipun sangat sederhana, film tersebut menunjukkan kualitas yang tidak main-main. Sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan setiap elemen yang terkandung dimaksimalkan sehingga menghasilkan intensitas visual yang sangat menarik. Para peserta bahkan dapat merasakan semangat dari atlit yang sedang melompat tersebut.
Dalam workshop kali ini, Yamada juga berfokus kepada aspek etika dalam perfilman. Foto cuplikan dari film kontroversial “The Born of a Nation”yang pertama kali dirilis pada tahun 1915 ditampilkan pada layar. Para peserta pun menunjukkan reaksi berbeda-beda terhadap foto tersebut, meskipun sebagian besar dari mereka seperti ngeri melihatnya.
Yamada menyatakan bahwa dalam seni termasuk film, setiap orang berhak menentukan batasan masing-masing. Ia mengakui bahwa dalam beberapa film, unsur seni lebih diutamakan dibandingkan pesan yang ingin disampaikan. Kejujuran dalam berkarya merupakan salah satu aspek terpenting baginya.
Meskipun demikian, Yamada tetap jelas dengan batasan-batasan yang dimilikinya, yang tentunya berpegang pada nilai-nilai kekristenan. Ketika salah seorang peserta bertanya pendapat Yamada mengenai film pornografi, tanpa ragu ia menjawab. “Kejujuran dalam berkarya memang sangat penting, tapi tetap ada batasan, dan pornografi itu tetap jahat” tegasnya.
Yamada percaya bahwa nilai-nilai kekristenan yang dia anut, secara praktis akan tertuang dalam karyanya, tanpa harus secara gamblang. “Kita sebagai orang Kristen, harus dapat dikenali dari buah yang kita hasilkan”, paparnya. Yamada kemudian mengutip Lukas 6:44-45 yang juga menjadi pedomannya.
Di penghujung presentasinya, Yamada menutup dengan menampilkan film garapannya, yang berjudul “Jitensha (Bicycle)”. Film yang berlatar tempat di Jepang ini, telah sukses memenangkan banyak penghargaan dari beberapa festival film berbeda. Yamada membagikan cerita bagaimana pandangan seorang ateis terhadap kekristenan kemudian berubah, setelah menyaksikan film ini. “Saya akhirnya mengerti bagaimana kalian orang Kristen memandang iman kalian”, kutip Yamada.
Apresiasi meriah ditunjukkan seluruh peserta, setelah selesai menyaksikan film berdurasi 20 menit tersebut. Yamada sukses membuat para peserta kagum akan karyanya.
Mengenai workshop ini, Armein Z.R. Langi, salah satu peserta yang hadir sebagai perwakilan dari Universitas Kristen Maranatha Bandung, menyampaikan kesannya.