Black Campaign, Masa Bodoh
Meskipun Prabowo-Gibran telah dilantik menjadi Presiden hampir dua minggu tapi celaan yang pedas dan emosional yang mendorong- dorong agar mereka pecah kongsi ditengah jalan terus saja berlangsung.
Yang paling kasar adalah yang dipertontonkan oleh BEM FISIP Univrrsitas Airlangga.
Papan raga itu menunjukkan ucapan selamat kepada Prabowo dengan segala atributnya lalu kepada Gibran dengan embel-embel."Admin Fufufafa", kemudian diatas dan dibawah adalah kata-kata pelecehan dan hinaan yang membuat kita berpikir, hanya seperti inikah kelas mahasiswa-mahasiswa ini yang katanya adalah calon-calon intelektual itu?
Menyedihkan sekali, jika itu mewakili alam pikiran mahasiswa di Indonesia. Kelompok yang seharusnya bisa dibanggakan mengusung masa depan bangsa ini tidak lebih dari gelandangan pinggir jalan yang tidak memiliki pendidikan.
Lontaran emosional mereka itu bisa digolongkan sebagai black campaign yakni menyudutkan seseorang tanpa dukungan fakta. Â Sedangkan orang-orang yang diharapkan menjadi intelektual bangsa ini seharusnya mengedepankan kritik yang membangun, yaitu pernyataan yang didukung fakta riil.
Untungnya Prabowo sudah makan asam garam dunia tidak peduli dengan semua itu. Dan Gibran pun tidak kalah masa bodoh yang membuat para black campaigner makin hilang akal.
Hentakan langkah awal Prabowo Subianto sebagai presiden membawa berbagai harapan di masyarakat. Prabowo mrmbuang jauh isu meruncingnya hubungan dengan Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming. Dalam statement-nya, ia keras menyuarakan pemberantasan korupsi, memperkuat kabinet, serta melibatkan tokoh-tokoh potensial seperti Prof. Stella Christie, yang langsung menyedot perhatian publik. Bahkan, inisiatif Prabowo mengajak timnya berkumpul di Magelang di barak-barak militer dan menggunakan dana dari kantong sendiri, menunjukkan sebuah langkah yang serius untuk membentuk team kabinet yang kuat dan solid yang terinspirasi oleh disiplin militer.
Langkah-langkah Prabowo ini menimbulkan tanda tanya, "Mengapa Prabowo tidak bisa memenangkan pemilu dahulu?"
Harus disadari, jika bukan karena inisiatif Jokowi yang mengajak Prabowo masuk kabinet pada periode lalu, sebagian rakyat Indonesia mungkin akan secara psikologis mengalami  kesulitan mengakomodir  masa lalu Prabowo yang sudah banyak diketahui umum.
Jejak lama Prabowo terkait posisinya dalam keluarga Soeharto yang digulingkan oleh gelombang reformasi 1998, pemecatannya dari dinas milter, isyu-isyu pelanggaran HAM berat meninggalkan catatan yang sulit dihilangkan dari ingatan rakyat.
Posisi Jokowi yang telah menjabat dua periode merupakan masa healing yang memberi Prabowo kesempatan memulihkan citranya, mengingat kepercayaan publik terhadap Jokowi yang merasa puas delam masa pemerintahannya mencapai 80% yang mungkin belum pernah dicapai oleh para presiden RI sebelumnya.
Pada setiap kesempatan Pemilu Capres upaya Prabowo mencalonkan diri kerap gagal, bahkan dua kali oleh Jokowi sendiri. Jokowi berhasil memenangkan dukungan rakyat tahun 2014 dan 2019, Â bukan karena sekadar endorsement Megawati, tetapi karena kepribadian dan kepemimpinannya yang unik semenjak menjadi Walikota Solo yang menyedot perhatian rakyat.
Jika ada yang masih memiliki sikap bahws Jokowi diangkat karena Megawati, hal itu menjadi sebuah pertanyaan besar.
Faktanya bisa dilihat sendiri sangat terang benderang buktinya, Â terutama jika kita melihat hasil suara Ganjar yang memperoleh dukungan penuh dari Megawati justru jeblok di bawah ekspektasi. Bahkan mungkin lebih rendah dari Anies Baswedan.
Dari mencermati pola ini, kita bisa melihat mengapa Jokowi lebih memilih Prabowo. Prabowo dianggap sebagai seorang pejuang dengan militansi tinggi terhadap negara. Jika saja Ganjar yang saat itu sudah diusahakan oleh Jokowi untuk digandengkan dengan Prabowo memiliki kerendahan diri berbesar hati menerima tawaran menjadi wakil Prabowo, mungkin perjalanan karir politiknya akan tidak akan hilang ditelan masa.
Dalam suasana politik seperti ini, membaca karakter seseorang dalam konteks kepemimpinan dapat membantu memahami loyalitas dan keberanian.
Lingkungan politik PDIP yang sering kali dianggap congkak dan eksklusif menciptakan tantangan dalam menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak. Keengganan PDIP mengucapkan selamat kepada pasangan Prabowo-Gibran mengirim pesan kuat kepada publik akan adanya ketidakilhlasan untuk menghargai kemenangan lawan, yang mana merusak citra PDIP sendiri di mata Publik sebagai pihak yang tidak mampu mengelola kekalahan dan bersikap infantil.
Prabowo dalam beberapa waktu  kedepan sudah akan sibuk dengan jadwal kunjungan ke luar negeri. Otomstis Gibran sebagai Wapres akan menjabat sebagai pelaksana tugas presiden. Pesan yang terkirim kepada publik perihal spekulasi negatif yang dihembuskan selama ini tidak menggoyahkan semangat dan integritas Prabowo, malah justru mengukuhkan posisinya. Isu dan hoaks yang ditujukan untuk menggoyang opini publik terbukti hanya angin lalu bagi Prabowo yang telah mencapai usia diatas 70 tahun, sebagai presiden tertua Indonesia dan sebagai seorang jenderal yang sudah terbiasa menghadapi berbagai tantangan dan berpengalaman dalam berbagai situasi perang. Pendampingan Jokowi di sisi Prabowo, sebagai individu yang pernah mengalahkannya dalam dua kesempatan pemilu, memberikan sebuah pesan kuat kepada publik bahwa dukungan ini bukan sekadar simbolis, melainkan bentuk dukungan nyata yang sudah melalui pertimbangan strategi politik dalam aspek yang luas bagi keberlanjutan pemerintahan menuju Indonesia yang dicita-citakan rakyat Indonesia.
Meskipun begitu masih banyak, terutama barisan sakit hati, yang tidak pernah lelah bersikap kritis yang dibuat-buat, mencari-cari segala celah untuk melempar ketidakpuasan, Â menyimpan dendam pada Jokowi dan Gibran, dan terus menerus memancarkan energi negatif. Â Namun satu hal yang perlu kita semua sadari bahwa sejarah menunjukkan bahwa tidak ada kebaikan yang bisa dikalahkan oleh keburukan. Terus menerus menyalakan api kemarahan terhadap hasil politik hanyalah hal yang sia-sia dan percuma. Bagi mereka yang mimpi di siang bolong Prabowo-Gibran bakal pecah, Â pasti akan merana menelan kekecewaan.
Selembar daun jatuh saja diketahui dan seijin Tuhan. Tuhan maha mengatur segalanya dan tidak mingkin salah atau meleset, Â apalagi seorang presiden yang memimpin negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia.
Indonesia merupakan negara besar dan unik. Eropa yang satu daratan terpecah-pecah menjadi banyak negara. Indonesia 17 ribu pulau , 1100 suku lebih, 546 bahasa, 34 propinsi, 6 agama besar  dan 245 agama lokal bisa dipersatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat tidak terhitung yang bisa kita syukuri. Sudah saatnya ini kita jadikan momen penyembuhan. Maju bersama menuju Indonesia Emas. (KH.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H