Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat yang Tak Pernah Sampai

26 Oktober 2024   12:13 Diperbarui: 26 Oktober 2024   12:28 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keheningan, Arman merasa ada ketenangan yang merasuki hatinya. Meski sakit, ia mulai menyadari bahwa dendam tak akan membawanya ke mana-mana. Mungkin, ini adalah rencana Tuhan agar ia belajar melepaskan sesuatu yang tak bisa ia miliki, agar ia bisa menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri.

Pengampunan yang Sulit

Dengan hati yang lebih tenang, Arman memutuskan untuk menemui Hasan sekali lagi, kali ini tanpa amarah. Ia ingin menuntaskan rasa sakitnya, bukan dengan balas dendam, tetapi dengan pengampunan. Saat bertemu dengan Hasan, Arman menghela napas dalam-dalam dan berkata, "Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Hasan. Tapi aku juga tidak ingin hidup dengan kebencian."

Hasan tertegun, matanya terlihat berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Arman berhak marah, dan ia tidak pernah menyangka bahwa sahabatnya ini akan memilih jalan yang begitu mulia. Hasan pun menunduk, suaranya bergetar saat ia berkata, "Maafkan aku, Arman. Aku tahu kata-kata ini tak cukup, tapi aku sungguh menyesal."

Arman hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku telah memaafkanmu, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri."

Meskipun hatinya masih terasa perih, Arman merasa beban berat perlahan terangkat dari dadanya. Ia menyadari bahwa memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memberi dirinya kesempatan untuk melangkah maju tanpa membawa luka lama.

Takdir yang Menyelamatkan

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, Arman mendengar bahwa Laila, yang pernah ia cintai, menghadapi cobaan berat dalam rumah tangganya. Suaminya ternyata tidak setia, dan hidup Laila dipenuhi kekecewaan dan kesedihan. Arman hanya bisa berdoa agar Laila menemukan kedamaian yang ia cari.

Dalam perjalanan hidupnya, Arman akhirnya menemukan cinta yang baru, seorang wanita yang memahami dan mendukungnya sepenuh hati. Dari pengalaman pahitnya, Arman belajar untuk tidak mempertanyakan takdir dan menerima bahwa Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih besar di balik setiap kejadian.

Di suatu malam yang tenang, Arman menatap bintang di langit dan tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun suratnya tak pernah sampai, Tuhan telah menuntunnya pada jalan yang lebih baik, pada cinta yang sejati, dan pada kedamaian yang selama ini ia rindukan. (KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun