Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semua Pemimpin Berbuat Salah

23 Oktober 2024   08:47 Diperbarui: 23 Oktober 2024   09:33 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEMUA PEMIMPIN BERBUAT SALAH

Semua pemimpin pasti berbuat salah. Semua manusia tidak ada yang luput dari kesalahan. Semua orang bisa khilaf. Itulah manusia.

Tapi apa yang mereka lakukan setelah berbuat kesalahan. Itulah yang membedakan derajat manusia.

Ada yang bertobat dan tidak mengulanginya kembali. Ada yang minta maaf tapi jatuh dalam keselahan yang sama berulang kali.  Ada yang meminta maaf, dalam hati saja karena beban emosi yang begitu berat dalam mengucapkan kata maaf, seperti lagu "Hard to say I'm sorry"nya Peter Cetera. Ada yang menangis dalam hati penuh penyesalan. Dan ada yang tidak mau minta maaf samasekali. Bahkan ada yang tidak sadar telah berbuat salah.

Baru-baru ini ada tayangan video yang menayangkan Prabowo minta maaf atas kesalahan-kesalahannya dimasa lampau dihadapan orang-orang yang dahulu pernah terkena sasaran tindakannya, ditambah editan tayangan komentar Jend. Purn. Wiranto terhadap Prabowo. Dan publik pasti sudah banyak yang tahu masalah apa ini.

Tapi yang ingin ditinjau oleh tulisan ini adalah meletakkan kasus kesalahan yang pernah dilakukan pemimpin-pemimpin dunia dalam konteks sejarah dunia secara luas.

Manusia selalu berbuat salah, karena kurangnya pengetahuan atau pengalaman atau tahu perbuatannya salah tapi dorongan nafsunya mengalahkan akal sehatnya sehingga ia terus melakukan kesalahan dengan sengaja berulang-ulang untuk memperoleh kenikmatan, kepuasan sementara. Contoh yang mudah seperti metokok.

Para pemimpin dunia yang harus mengambil keputusan-keputusan besar dalam bidang yang luas dan mempengaruhi hidup oramg banyak,  seringkali tidak memiliki waktu dan sumberdaya yang cukup untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan yang besar dalam keadaan genting seperti perang atau kekacauan politik dan sosial yang luas. Tindakan atau keputusan harus segera diambil atau resiko-resiko akan semakin besar dan tidak terkendali.

Pada keadaan-keadaan seperti inilah kesalahan-kesalahan besar yang sering tidak dapat diperbaiki terjadi.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, termasuk para pemimpin besar yang mengendalikan nasib bangsa. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, keputusan yang salah sering kali baru terlihat jelas setelah dampaknya dirasakan. Para pemimpin yang berada di posisi puncak kekuasaan kerap membuat keputusan dengan keyakinan bahwa mereka melakukan yang terbaik untuk rakyat dan negara. Namun, ketika realitas menunjukkan sebaliknya, rasa sesal muncul dan kesalahan menjadi pelajaran penting. Di sinilah muncul sebuah kebijaksanaan yang perlu dipahami oleh publik: semua orang membuat kesalahan, dan kesalahan pemimpin bisa berakibat sangat besar.

Teori-teori sosial dan politik mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan cenderung membuat seseorang merasa bahwa setiap tindakan mereka benar, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "hubris effect". "Lord Acton", seorang sejarawan Inggris, pernah berkata, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Dalam kekuasaan, kesalahan kecil dapat berkembang menjadi bencana besar jika tidak diakui atau ditangani dengan cepat. Para pemimpin yang tidak mau mengakui kesalahan mereka cenderung jatuh ke dalam siklus yang menghancurkan, di mana ego mereka menghalangi upaya perbaikan.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa beberapa pemimpin besar akhirnya menyadari kesalahan mereka dan secara terbuka menyatakan penyesalan. Penyesalan tersebut sering kali datang setelah peristiwa besar yang mengubah wajah sejarah. Kita dapat belajar dari banyaknya pemimpin dunia yang mengakui, bahkan terkadang terlambat, bahwa tindakan mereka menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan.

Salah satu contoh paling terkenal adalah "Dwight D. Eisenhower" yang menyatakan penyesalan mendalam atas operasi pesawat mata-mata U-2. Pada awalnya, Eisenhower dengan tegas membela operasi tersebut, tetapi setelah pesawat U-2 ditembak jatuh di wilayah udara Soviet dan pilotnya ditangkap, situasi berubah menjadi sangat memalukan bagi Amerika Serikat. Eisenhower mengakui bahwa dia tidak akan menyetujui misi tersebut jika dia mengetahui bahwa hasilnya akan sangat memalukan.

Ini menunjukkan betapa mudahnya keputusan dalam krisis bisa menjadi bumerang, dan betapa sulitnya bagi seorang pemimpin untuk mengantisipasi setiap konsekuensi dari keputusan mereka. Dalam "teori keputusan politik", para pemimpin sering kali dipengaruhi oleh informasi yang tidak lengkap atau salah, yang dikenal sebagai "bounded rationality". Mereka membuat keputusan berdasarkan apa yang mereka ketahui saat itu, tetapi tidak jarang, informasi tersebut cacat atau tidak memadai.

Contoh lain datang dari "John F. Kennedy" dengan Invasi Teluk Babi. Di sini, keputusan yang salah tidak hanya merugikan secara politik tetapi juga militer. Kegagalan invasi Kuba yang didukung CIA ini menjadi salah satu noda besar dalam kepemimpinan Kennedy. Namun, alih-alih menyalahkan orang lain, Kennedy mengambil tanggung jawab penuh atas kesalahan tersebut. Dia mengatakan, "Kemenangan memiliki seratus ayah, tetapi kekalahan adalah anak yatim." Sebuah pengakuan yang menunjukkan bahwa meski keputusan diambil dengan niat baik, hasilnya bisa sangat berbeda.

"Tony Blair" juga memberikan salah satu contoh penting dari seorang pemimpin yang mengakui kesalahan besar dalam kebijakan luar negerinya. Blair terlibat dalam invasi Irak tahun 2003, sebuah keputusan yang didasarkan pada informasi intelijen yang keliru tentang adanya senjata pemusnah massal. Setelah bertahun-tahun mempertahankan keputusannya, Blair akhirnya meminta maaf pada 2015 dan mengakui bahwa intelijen yang digunakan untuk membenarkan invasi tersebut salah. Dalam permintaan maafnya, Blair tidak hanya menyalahkan kesalahan intelijen, tetapi juga mengakui bahwa perencanaan pasca-invasi sangat kurang, yang menyebabkan kekacauan di Irak selama bertahun-tahun.

Penyesalan Blair ini menggarisbawahi apa yang dalam "teori konflik" disebut sebagai "ramalan yang terpenuhi sendiri." Artinya, tindakan yang dilakukan untuk menghindari atau mencegah ancaman justru menciptakan kondisi yang memperburuk situasi. Invasi Irak, yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal, justru menciptakan kekacauan yang membuat kawasan tersebut semakin tidak stabil.

Sejarah juga mencatat "Barack Obama" yang menyatakan penyesalan atas kurangnya perencanaan pasca-intervensi NATO di Libya. Pada awalnya, intervensi tersebut dipandang sebagai keberhasilan karena berhasil menggulingkan diktator Libya, Muammar Gaddafi. Namun, kegagalan dalam merencanakan transisi menuju pemerintahan yang stabil menyebabkan Libya jatuh ke dalam perang saudara yang berkepanjangan. Obama kemudian mengakui bahwa intervensi di Libya adalah kesalahan besar, dan dia akan bertindak berbeda jika mengetahui dampaknya.

"Nelson Mandela", salah satu pemimpin paling dihormati di dunia, juga menunjukkan sisi manusiawi dari kepemimpinannya dengan menyatakan bahwa dia menyesal tidak berbuat lebih banyak untuk mengatasi ketidaksetaraan ekonomi setelah berakhirnya apartheid. Meskipun Mandela sukses menghapuskan sistem apartheid, dia merasa bahwa lebih banyak yang seharusnya dilakukan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan. Ini adalah pengingat bahwa bahkan pemimpin yang paling bijaksana pun bisa menyesal atas tindakan atau kelalaian mereka di kemudian hari.

Dalam kasus "Angela Merkel", penyesalannya lebih bersifat teknis tetapi tidak kalah penting. Ketika pandemi COVID-19 melanda Jerman, Merkel memutuskan untuk memberlakukan lockdown selama Paskah, sebuah keputusan yang kemudian dia akui sebagai kesalahan besar. Penarikan kebijakan tersebut dan permintaan maaf Merkel menunjukkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengakui kesalahan mereka secara terbuka dan mengambil tindakan untuk memperbaikinya.

Kita juga melihat "Shinzo Abe" dari Jepang yang meminta maaf atas tindakan Jepang selama Perang Dunia II. Permintaan maaf tersebut, yang disampaikan pada peringatan 70 tahun berakhirnya perang, menunjukkan betapa besar beban sejarah yang harus dipikul oleh para pemimpin dan bangsa mereka. Pengakuan kesalahan di masa lalu, meski menyakitkan, sering kali diperlukan untuk membangun hubungan internasional yang lebih baik dan menghindari konflik di masa depan.

Namun, tidak semua penyesalan datang dari medan perang atau konflik politik besar. "Fidel Castro" dari Kuba, misalnya, menyatakan penyesalan atas perlakuan terhadap komunitas LGBTQ+ selama tahun-tahun awal revolusi. Di masa itu, Castro dan pemerintahannya menerapkan kebijakan yang menindas kaum LGBTQ+, tetapi kemudian dia mengakui bahwa itu adalah kesalahan besar. Ini menunjukkan bahwa kesalahan seorang pemimpin bisa sangat bervariasi, dari skala nasional hingga sosial.

Pemimpin lainnya yang menyatakan penyesalan dan kutipan kata-kata penyesalannya

1. "Lyndon B. Johnson (AS) -- Perang Vietnam (1968)"

   - "Konteks": Johnson menyatakan penyesalan atas meningkatnya eskalasi Perang Vietnam, mengakui dampak yang ditimbulkannya bagi Amerika dan Vietnam.

   - "Kutipan Penting": "Jika saya tahu saat itu apa yang saya ketahui sekarang, saya akan bertindak berbeda."

2. "Joko Widodo (Indonesia) -- Kebakaran Hutan dan Kabut Asap (2015)"

   - "Konteks": Jokowi menyatakan penyesalan atas penanganan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap luas di Indonesia dan negara-negara tetangga.

   - "Kutipan Penting": "Jika saya tahu seberapa besar kerusakannya, saya akan bertindak lebih cepat dan lebih tegas."

3. "David Cameron (Inggris) -- Brexit (2016)"

   - "Konteks": Setelah Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, Cameron menyatakan penyesalan atas referendum tersebut, yang menyebabkan pengunduran dirinya.

   - "Kutipan Penting": "Jika saya tahu itu akan berakhir seperti ini, saya mungkin akan berpikir berbeda tentang referendum."

4. "Jacques Chirac (Prancis) -- Permintaan Maaf atas Peran Prancis dalam Holocaust (1995)"

   - "Konteks": Chirac adalah presiden Prancis pertama yang secara resmi mengakui keterlibatan Prancis dalam deportasi orang Yahudi selama Perang Dunia II.

   - "Kutipan Penting": "Ya, kebodohan kriminal para penjajah didukung oleh Prancis, oleh negara Prancis."

5. "Richard Nixon (AS) -- Skandal Watergate (1977)"

   - "Konteks": Dalam wawancara televisi dengan David Frost, Nixon menyatakan penyesalan atas skandal Watergate.

   - "Kutipan Penting": "Saya mengecewakan teman-teman saya... Saya mengecewakan negara saya. Saya mengecewakan rakyat Amerika, dan saya harus memikul beban itu seumur hidup saya."

6. "Justin Trudeau (Kanada) -- Permintaan Maaf atas Perlakuan Terhadap Penduduk Asli (2017)"

   - "Konteks": Trudeau menyampaikan permintaan maaf resmi atas perlakuan pemerintah Kanada terhadap penduduk asli, terutama di sekolah-sekolah asrama.

   - "Kutipan Penting": "Jika saya bisa bertindak berbeda, mengetahui apa yang saya ketahui sekarang, saya akan memastikan bahwa bab kelam ini dalam sejarah kita tidak pernah terjadi."

Semua contoh ini mengajarkan satu hal penting: bahkan pemimpin terbaik sekalipun tidak kebal dari kesalahan. Apa yang membedakan seorang pemimpin yang baik dari yang buruk adalah kemampuannya untuk mengakui kesalahan dan belajar darinya. Dalam "teori manajemen krisis", salah satu prinsip utama adalah transparansi dan tanggung jawab. Pemimpin yang gagal mengakui kesalahan mereka cenderung kehilangan kepercayaan publik dan semakin sulit untuk memimpin secara efektif.

Oleh karena itu, penting bagi publik untuk memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari sifat manusia, termasuk di kalangan pemimpin. Mengharapkan seorang pemimpin untuk sempurna adalah ilusi.

Sebaliknya, kita harus melihat bagaimana seorang pemimpin merespons kesalahan mereka---apakah mereka mau belajar, berubah, dan memperbaiki situasi? Pada akhirnya, kebijaksanaan terbesar datang dari pengakuan bahwa kita semua adalah manusia yang tidak sempurna, dan dari kesalahanlah kita belajar untuk menjadi lebih baik.

Semua manusia berbuat salah. Semakin tinggi kedudukannya, semakin besar kemungkinannya berbuat kesalahan besar. Terimalah kenyataan ini.

(KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun