Jutar mengangguk. "Kita mainkan tahapannya. Hukuman mati, kita tawarkan potongan jadi 20 tahun. Lalu, setelah dia kepanasan, kita naikin jadi 10 tahun, dan terakhir… kalau uangnya sesuai, kita buat bebas."
Matadut memotong, "Jangan terlalu pelan, Jutar. Kalau dia lari, kita kehilangan mangsa besar. Kita butuh kepastian uangnya cair dulu."
"Tapi, yang penting kita dapat potongan yang adil," Suwang menatap Matadut dengan mata tajam, "Aku minta 50 persen, sisanya kalian bagi dua."
Matadut langsung mendengus, "50 persen? Gila! Aku juga punya risiko besar di sini. Kau hanya mengetukkan palu, aku yang harus menekan setiap saksi, menggertak, mengurus dokumen palsu. Aku minta 40 persen!"
"Kalau kalian ribut begini, kita malah gagal dapat apa-apa!" Jutar memukul dinding WC. "30-30-40 saja. Itu adil."
Mereka bertiga saling menatap. Atmosfer di WC itu mendadak tegang, tapi Suwang akhirnya tertawa keras, menghentikan ketegangan. "Oke, oke. Demi kelancaran bisnis ini, aku setuju."
Setelah sepakat, mereka bersiap memainkan pertunjukan pengadilan untuk Pukor, pejabat korup yang saat ini tampak akan menjadi sasaran empuk berikutnya.
Pertemuan dengan Pukor
Keesokan harinya, Pukor, pria berkemeja rapi dengan rambut kelimis, duduk di ruang sidang. Senyum samar tersungging di bibirnya saat Jutar mendekat dan mulai bernegosiasi secara langsung.
"Kita bisa membantu meringankan hukuman Anda, Pak Pukor. Tentu saja, dengan biaya yang sesuai," ucap Jutar lembut, mengarahkan pandangannya langsung ke mata Pukor.
Pukor menghela napas, tampak pasrah. "Berapa yang harus saya bayar?"