Dalam tayangan banyak video, Tik Tok, Instagram, Facebook, Snack,  atau WA ada banyak hal serupa yang mengganggu  kehidupan kita. Ibu yang merendam celana dalam merah berbercak menstruasi kadalam panci baksonya agar laris. Pembuat cilok yang mengaduk tepung dengan kakinya. Pedagang baso yang mengaduk kuah baso dengan kaki. Pembuat tempe yang mencampur kedelai dengan kertas. Pembuatan telor ayam sintetis dari Cina. Pedagang beras yang mencampur berasnya dengan butiran plastik serupa beras. Pedagang gorengan yang mencampur minyak goreng dengan lilin agar gorengan tampak segar dalam waktu lama. Penjual daging yang menyelipkan daging babi diantara daging sapi yang dijualnya. Pegawai bank yang mengutil tabungan nasabah hingga kosong. Perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang mengutil kuota dari pelanggannya, serta membocorkan data pelanggannya. Dan tidak terhitung kegilaan lain tanpa batas yang terjadi dan mungkin sedang berjalan tapi belum terungkap.
Dalam kehidupan ini banyak terjadi hal serupa dalam tingkat dan intesitas yang berbeda.
Ulama merusak agamanya. Politisi merusak kepercayaan pendukungnya. Dokter-dokter merusak profesinya dengan berdagang obat. Hakim, Jaksa, Pengacara, Polisi, Ahli hukum, orang-orang yang dianggap tahu aturan, justru merusak hukum. Perusahaan-perusahaan besar menipu konsumennya dengan produk-produk berbahaya yang dibungkus iklan kemewahan dan artis-artis papan atas. Influencer menjerumuskan followers nya. Pemgumpul Zakat (Kasus ACT) menipu pembayar zakat.
Semua ini, terjadi mulai dari orang-orang yang berprofesi  yang dianggap remeh temeh sampai dengan posisi langit seperti Hakim Konstitusi, menghadapi masalah. Masalah TRUST, kepercayaan dan INTEGRITAS.
Ketika orang tidak lagi jujur dan berakhlak mulia dalam profesinya, apakah itu pedagang ayam atau hakim konstitusi, dia telah berbuat kerusakan. Dia telah berbuat kejahatan. Berbuat kezhaliman.
Korban-korbannya seringkali tidak bisa berbuat apa-apa, hanya tersenyum pahit, atau bergossip, di rumah-rumah, di warung-warung dan mentertawakan kesialan mereka. Tapi apakah betul mereka tidak berbuat apa-apa? Kita tahu, hati tidak berbohong. Mereka berdoa dalam hening, dalam sepi, dalam kekesalan, meminta pembalasan yang setimpal, bahkah yang dahsyat. Doa-doa orang yang terzhalimi. Dan kalimat yang mengatakan bahwa doa-doa orang terzhalimi dikabulkan doanya karena tidak batas antara Tuhan dan korban-korban ini, Â menjadi punya makna yang semakin kuat.
Jika keluar atau masuk bus Trans Jakarta mungkin kita dengar berulang kali, "Hati-hati melangkah" kata-kata itu menjadi sangat bermakna, dalam hidup ini, hati-hatilah melangkah. Jangan sampai menginjak kaki orang. Kita tidak tahu, kapan pembalasan akan datang, seberapa dahsyatnya pembalasan itu akan menimpa kita. Tahu-tahu kita hanya bisa menangis, WHY ME? Ya Tuhan kenapa saya? Kenapa kau timpakan musibah ini kepadaku? Lalu hati nuraninya menjawab sendiri, bukankah itu akumulasi tabungan kejahatan mu selama ini? Terimalah dengan lapang dada. (KH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H