Lalu bagaimana dengan lawakan cerdas?
Saya sendiri tidak tahu darimana kalimat ini berasal. Kalau yang dimaksud cerdas karena harus membuat materi, menurut saya semua komedian (di luar genre stand up comedy) juga cerdas karena harus berpikir dalam membuat joke/gimmick-nya untuk melawak.
Sule dan Andre pasti sudah mempersiapkan secara matang, membuat gimmick-gimmick baru di belakang panggung. Berpikir bersama. Begitu pula Dimas Danang dan Imam Darto. Siapa yang tahu bahwa Sasongko Widjanarko menulis dan menggonta-ganti lirik untuk membuat lagu setiap dia meminum kopi di acara Ini Talkshow?
Kalau itu yang dimaksud, setiap komedian, lebih jauh setiap seniman, Â adalah orang cerdas. Mungkin yang lebih tepat adalah, menonton stand up comedy membutuhkan pikiran yang terbuka, yang tidak menutup diri pada opini orang lain. Karena kalau tidak membuka diri, comic akan kesulitan dalam menggiring opini ke kepala audiens. Hasilnya, lawakan yang dilontarkan menjadi tidak lucu. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Schopenhauer. Bahwa stand up comedy adalah perihal mengubah sebuah realitas. Bagaimana realitas penonton terhadap satu hal dibelokkan dengan realitas baru. Kalau si penonton tidak mau menerima realitas awal yang diberikan komika, maka akan terjadi ketidaksinkronan. Maka menonton stand up comedy membutuhkan kewolesan tingkat tinggi.
Jadi, sebetulnya, stand up comedy sama saja seperti genre melawak lain. Buat saya, tidak ada genre komedi yang satu lebih cerdas dibanding yang lain. Karena menjatuhkan diri ke gabus, tidak berarti slapstick lebih bodoh dibanding stand up comedy. Karena konsepnya memang berbeda. Seorang musisi blues juga tidak mungkin menyebut pemusik grunge lebih bodoh/ tidak cerdas darinya hanya karena perbedaan genre.
Jawa, Bassist Maliq and d'essentials mengatakan, 'Ketika di panggung, kamu harus berkata dalam hati bahwa IM SUPERSTAR! Gue lebih oke dari lo semua! tapi ketika tidak di panggung, kamu harus easy going, rendah hati, dan tetap mau belajar sama siapapun.'
Salam,
Kresnoadi