Para penggemar seni dan sejarah tentu pernah mendengar nama Louvre Museum (Muse du Louvre) di Paris, Perancis, setidaknya mungkin pernah melihat piramida kacanya yang tersohor itu, baik dalam gambar maupun dalam film Da Vinci Code-nya Tom Hanks. Ya, museum yang menyimpan lukisan Mona Lisa ini memang merupakan salah satu museum paling ternama di dunia. Namun tahukah Anda bahwa sejak November 2017 yang lalu, museum ini juga memiliki cabang bernama serupa di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA)?
Walaupun ukurannya lebih kecil, namun Louvre Museum Abu Dhabi yang terletak di kawasan Saadiyat Island ini memiliki koleksi yang tidak kalah menarik dan berharga lho. Kebetulan minggu lalu saya berkesempatan mengunjunginya, sekalian membawa seorang sahabat yang kebetulan juga datang dari Paris, dan saya ingin berbagi sedikit ceritanya dengan Anda:
Louvre Abu Dhabi buka pukul 10 pagi sampai 8 malam (10 malam pada hari Kamis & Jumat), namun kami baru tiba pukul 6 sore setelah makan siang/sore yang cukup panjang. Lokasi museum cukup mudah dicapai dengan menggunakan mobil pribadi atau taksi dengan penanda jalan yang jelas. Mereka yang ingin menggunakan bus umum bisa naik bus no. 94 dari terminal Abu Dhabi (Sultan bin Zayed Street/Al Wahda) atau A19 dari bandara atau Yas Island.
Harga tiket masuk (belum termasuk VAT/PPN 5%) adalah AED 60 (Rp 225 ribu), tidak jauh dengan Louvre Paris yang tiket masuknya EUR 15 (Rp 250 ribu). Tersedia diskon 50% untuk mereka yang berusia 13-22 tahun, guru/dosen di PEA, dan tentara, sementara anak-anak di bawah usia 13 tahun, jurnalis, serta penyandang disabilitas bisa masuk dengan gratis.Â
Tiket dapat diperoleh secara online, namun kami memilih beli di tempat karena tiket onlineharganya sama dan hanya dapat digunakan pada tanggal yang tertera (keuntungan membeli onlineadalah tidak perlu mengantri). Kita juga dapat menyewa multimedia guide dengan harga AED 20 (Rp 75 ribu) atau mengikuti tur khusus selama 1 jam dengan tarif AED 50 (Rp 187 ribu), namun Anda juga dapat mengunduh aplikasi Louvre Abu Dhabi yang memuat informasi serupa multimedia guidesecara cuma-cuma (dengan menggunakan fasilitas wifigratis di museum). Sayangnya, tidak seperti di Paris, di sini tidak ada hari-hari khusus di mana pengunjung dapat masuk tanpa membayar karcis.
Louvre Abu Dhabi dibagi menjadi 23 galeri dengan 12 tema, yaitu berturut-turut: The First Villages, The First Great Powers, Civilization & Empires, Universal Religions, Asian Trade Routes, From the Mediterranean to the Atlantic, The World in Perspective, The Magnificence of the Court, A New Art of Living, A Modern World?, Challenging Modernity,dan A Global Stage. Di luar galeri-galeri ini juga terdapat beberapa ruang pameran sela. Berbeda dengan beberapa museum yang pernah saya kunjungi, koleksi di museum ini disusun menurut tema dari masing-masing galeri, bukan negara asalnya. Sebagaimana Louvre Paris, di sini juga diperbolehkan mengambil foto dengan HP maupun kamera, selama tidak menggunakan flash.
Dari ratusan koleksi yang ditampilkan, ada cukup banyak yang merupakan pinjaman dari beberapa museum ternama lain, utamanya di Perancis, seperti Muse d'Orsay, Muse du Quai Branly, Bibliothque nationale de France, dan sebagainya. Di sini saya tampilkan beberapa koleksi yang menarik perhatian:
Patung berkepala dua ini dari Ain Ghazal, Yordania (6500 SM) merupakan salah satu patung besar berwujud manusia tertua di dunia dan diperkirakan merupakan gambaran para dewa atau leluhur masyarakat setempat.
Patung dari batu hitam (2120 SM) ini menggambarkan Raja Gudea dari Lagash, Mesopotamia yang tengah menghaturkan doa dalam busana kerajaan.
Patung singa Mari-Cha ini berasal dari peradaban Islam di selatan Italia atau Spanyol (1000-1200), dan dianggap sebagai salah satu peninggalan Islam terpenting dari kawasan tersebut. Terdapat pipa di bagian mulut patung ini, dan tubuhnya memiliki rongga kosong, sehingga diperkirakan patung ini bukan sekadar dekorasi, namun juga bisa "mengaum" ketika dihembusi angin.Â
Peti kayu yang sangat indah ini berhiaskan ornamen singa dan hewan-hewan mitologis dari timah yang disepuh emas, berasal dari Spanyol (1300 -1400).
 Peti kayu lain yang menarik perhatian adalah peti ini, berasal dari periode Momoyama (1573-1603) di Jepang, dan terbuat dari kayu dengan hiasan sepuhan emas, kulit kerang mutiara, dan tembaga.
 Kedua karya kaligrafi ini berasal dari Turki dan merupakan koleksi Zayed National Museum Abu Dhabi. Yang pertama merupakan karya Mehmed Sefik (1820 -- 1880) dan yang kedua dari masa Kekaisaran Ottoman/Utsmaniyah, kurang lebih antara tahun 1600-1800.
(Foto-foto lainnya dapat dilihat di Instagram saya "middleclasstraveller".)
Di samping karya-karya tadi, terdapat pula beberapa lukisan terkemuka, di antaranya potret diri Vincent Van Gogh (1887 M), lukisan "Young Emir Studying" karya Osman Hamdy Bey, "La Belle Ferronniere" karya Leonardo da Vinci, lukisan "Arrangement in Grey and Black No.1 (juga dikenal dengan "Whistler's Mother")" karya James McNeill Whistler, dan lain sebagainya. Lukisan Whistler ini merupakan salah satu mahakarya seniman Amerika yang paling populer di dunia dan sering disandingkan sebagai Mona Lisa dari era Viktoria. Rasanya tidak perlu foto-foto lukisan tersebut saya pajang di sini, karena tentu sudah lazim yang menampilkannya di dunia maya.
Selain itu, terdapat pula karya-karya seni kontemporer, termasuk beberapa karya yang bagi saya pribadi tidak berkesan, bahkan nampak biasa saja, namun ternyata merupakan karya seni yang cukup bernilai. Mungkin memang benar bahwa kecantikan itu terletak di mata yang memandangnya.
Salah satu koleksi seni kontemporer karya Josef Albers (1963 & 1959) yang menurut saya tidak ada istimewanya:
Sebenarnya ada satu lukisan yang benar-benar ingin saya lihat namun justru tidak ditampilkan, yaitu Salvator Mundi ("Juru Selamat Dunia" dalam bahasa Latin), salah satu mahakarya Leonardo da Vinci. Lukisan yang menggambarkan wajah Yesus Kristus ini merupakan lukisan termahal yang pernah dilelang di dunia, yang dibeli oleh Museum Louvre Abu Dhabi bulan November lalu dengan harga 450 juta dolar Amerika ( Rp 6.2 triliun)! Menurut penjaga museum, lukisan ini memang belum ditampilkan untuk umum, entah mengapa. Mungkin diperlukan ruang khusus dengan sistem penjagaan yang khusus pula untuk menjaganya dari tangan-tangan jahil.
Namun kunjungan kami tetap berkesan walaupun tanpa Salvador Mundi. Kalau boleh jujur, saya bahkan lebih menikmati kunjungan ini dibandingkan kunjungan saya ke Louvre Paris beberapa tahun silam. Jumlah koleksi yang tidak terlampau banyak dan juga jumlah pengunjung yang tidak sampai membludak seperti memberikan kami waktu dan kesempatan yang cukup untuk benar-benar menikmati berbagai karya seni yang ditampilkan tanpa merasa terburu-buru atau dikejar waktu.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin membagikan sebuah kutipan dari penyair sufi kenamaan Jalaluddin Rumi, yang dipajang di pintu masuk museum ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H