Setelah perjalanan yang panjang namun cukup nyaman dengan kereta malam dari Kiev, tibalah saya di Lviv, kota terbesar ketujuh di Ukraina. Dinginnya angin selepas subuh dengan suhu di bawah 5oC yang merasuk hingga ke tulang dan rasa penat yang mendera membuat saya ingin segera merebahkan diri di hostel.Â
Namun untuk mencapai hostel saya, Dream Hostel, yang terletak di pusat kawasan kota tua, saya harus menumpang trem atau bus dari stasiun (di sini tidak ada metro atau kereta bawah tanah seperti di Kiev).
Saya memilih trem, karena biasanya lebih jelas rute dan tempat pemberhentiannya. Tunggu punya tunggu, ternyata tram no. 10 yang saya nantikan (sesuai petunjuk hostel) tak kunjung tiba, bahkan setelah lebih dari setengah jam.Â
Untungnya, berkat bantuan Mas Google dan paket data Flexiroam, saya menemukan rute trem lain (no. 1) yang juga melewati hostel tersebut (di pemberhentian trem tidak ada peta rute). Memang trem no. 1 ini sudah beberapa kali lalu-lalang sejak tadi. Mungkin trem no. 10 ini hanya beroperasi pada jam-jam tertentu.
Setelah kurang lebih 20 menit, tibalah saya di alun-alun utama (Rynok Squareatau Central Market Square), yang menandai kawasan kota tua. Berbeda dengan Kiev yang megah dan penuh dengan bangunan-bangunan peninggalan rezim komunis Soviet, pusat kota Lviv mungil dan dapat dikelilingi dengan berjalan kaki dalam waktu yang singkat. Suasananya menyerupai suasana di kota-kota kecil di Eropa Barat atau Tengah.Â
Ini dikarenakan letak geografisnya yang memang berada dekat dengan perbatasan Polandia, Slovakia, dan Hungaria, di samping sejarahnya yang memang pernah ditaklukkan negara-negara Eropa di sekitarnya.
Cukup datang ke tempat yang ditentukan beberapa menit sebelum tur dimulai. Sebelumnya saya pernah mengikuti tur serupa di Belgrade, Budapest, Bratislava, dan Krakow, walaupun penyelenggaranya berbeda-beda.
Walaupun gratis, tur semacam ini resmi dan setiap pemandu harus lulus ujian dan mengantongi izin dari otoritas wisata setempat, sehingga kualitasnya tidak kalah daripada tur berbayar. Para peserta hanya dianjurkan (tidak diharuskan) untuk memberikan tips di akhir tur apabila dianggap memuaskan.Â
Selama ini saya selalu memberikan tips karena memang selalu merasa sangat puas dengan pelayanan yang diberikan.
Pemandu tur pun biasanya anak-anak muda, sehingga suasananya lebih segar dan cair, tidak terlalu serius. Yang perlu dicatat adalah bahwa tur-tur ini biasanya tidak termasuk kunjungan masuk ke tempat-tempat wisata (hanya dilihat dari luar saja).Â
Oleh karena itu, biasanya saya melakukannya di awal kunjungan, sehingga bisa kembali ke tempat-tempat wisata tadi di sore hari atau esoknya dengan leluasa.
Ternyata sayalah satu-satunya peserta tur hari itu, sehingga saya sempat khawatir tur akan dibatalkan. Namun Olesya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa tur akan berlangsung sesuai rencana walaupun hanya saya pesertanya. Sungguh profesional! Padahal tur ini gratis, dan tidak ada jaminan bahwa saya akan memberikan tips nantinya. Bahkan perusahaan tur berbayar pun banyak yang menunda atau membatalkan tur kalau jumlah peserta tidak memenuhi kuota.
Tur dimulai dengan penjelasan singkat mengenai Lviv. Menurut Olesya, keseluruhan kawasan kota tua Lviv merupakan salah satu Warisan Dunia (World Heritage) UNESCO, di samping Katedral St. George, yang berusia 256 tahun dan terletak di luar pusat kota.Â
Olesya juga menjelaskan bahwa Lviv terkenal dengan restoran-restoran tematiknya yang unik dan menarik. Selain itu, juga terkenal akan tiga komoditas utama, yaitu kopi, cokelat, dan bir (salah satu produsen bir terkemuka di sini, Pravda Beer Theater, juga berlokasi di alun-alun ini).
Pemberhentian pertama kami adalah balai kota yang terletak di tengah-tengah Rynok Square. Gedung balai kota ini ternyata masih berfungsi, berbeda dengan di banyak kota lain di Eropa, di mana balai kota yang terletak di kota tua biasanya sudah beralih fungsi menjadi museum atau tempat wisata lainnya.Â
Memang di Lviv, kawasan kota tua bisa dikatakan masih menjadi pusat kota atau pusat aktivitas masyarakatnya.
Menurut Olesya, Lviv memiliki motto yang kurang lebih bunyinya, "Kota yang membuka gerbang bagi dunia" dan ini tercermin, misalnya, dari gedung balai kota yang terbuka bagi siapa pun tanpa penjaga. Gedung balai kota ini juga memiliki sebuah menara, di mana kita dapat menikmati pemandangan di sekitar kota tua.Â
Yang menarik, di balai kota ini juga terdapat beberapa poster iklan tentang kesempatan berinvestasi dengan tautan berupa QR code. Saya tidak tahu apakah di Tanah Air hal seperti ini sudah lumrah, namun patut ditiru.
Baik di balai kota maupun di sekitar kawasan kota tua itu sendiri, konon terdapat lebih dari 3000 ornamen bernuansa singa (dari patung, ukiran, hingga tempat sampah). Ternyata Lviv sendiri kalau diterjemahkan memang berarti Kota Singa (sama dengan "Singapura").Â
Menurut sejarah, nama ini diambil dari nama putra tertua raja pertama Ruthenia, Daniel dari Galicia, yaitu Leo/Lev I (1228 - 1301), yang menerima kota ini sebagai hadiah pernikahan dari ayahnya.
Di masa lalu, kota ini dibagi menjadi empat bagian (quarters) sesuai dengan komunitas yang mendiaminya, yaitu Ukraina, Polandia, Armenia, dan Yahudi. Setiap komunitas juga memiliki pemerintahannya sendiri, walaupun kesemuanya tetap berada di bawah pemerintah pusat kota.
Tepat di seberang balai kota terdapat salah satu restoran paling terkenal di sini, yang bernama Kryyivka. Walaupun terkenal, restoran ini tidak memiliki papan nama apapun, bahkan letaknya tersembunyi di bawah tanah! Sesuai namanya yang berarti "bunker", restoran ini didekorasi bak persembunyian tentara setempat pada masa perang melawan Rusia dan Polandia.Â
Pintu gerbangnya yang terbuat dari kayu berwarna gelap selalu tertutup rapat, dan untuk memasukinya kita harus mengetuknya pelan-pelan. Begitu pintu dibuka oleh penjaga yang berseragam tentara dan berperawakan sangar, kita diminta untuk menyebutkan kata sandi "Slava Ukrainia (Jayalah Ukraina)!" yang akan dibalasnya dengan "Heroyam slava (Jayalah, Para Pahlawan)!" sambil menyuruh kita segera masuk.
Ya, inilah salah satu restoran tematik yang Olesya sebutkan tadi. Saya sempat menjajalnya untuk makan siang selepas tur berarkhir. Hidangannya cukup lezat, porsinya besar, pelayanannya baik dan ramah (bisa berbahasa Inggris), dan memang banyak sekali tamunya. Harganya pun masih dalam batas kewajaran.
Kulchytskiy pernah ditawan oleh tentara Ottoman/Utsmaniyah di Turki, di mana ia lalu mempelajari bahasa, gaya hidup, dan kebudayaan setempat (termasuk tradisi minum kopi) dan akhirnya menjadi seorang mata-mata dalam perang antara Eropa melawan Turki.Â
Setelah perang dimenangkan, Kulchytskiy meminta seluruh persediaan biji kopi milik tentara Turki sebagai hadiah. Kopi pada saat itu memang tidak dianggap berharga atau bermanfaat di Eropa (beberapa negara sempat melarang perdagangan dan konsumsi kopi). Singkat cerita, ia kemudian membuka salah satu kedai kopi pertama di Wina, Austria, dan bereksperimen dengan menambahkan susu dan gula ke dalamnya.Â
Berkat jasanya, kopi lalu menjadi salah satu minuman terpopuler di Wina, dan akhirnya merambat ke Eropa. Di Wina, jasanya diabadikan dalam bentuk monumen dan juga nama jalan di sana.Â
Di bawah tanah restoran yang menempati bangunan abad ke-18 ini terdapat ruang-ruang makan dengan tema pertambangan, membuat kita berimajinasi seakan-akan di lokasi inilah biji kopi terbaik ditambang (tentu kita tahu bahwa kopi dihasilkan dari perkebunan, bukan pertambangan!)
Adapun istilah masochism sendiri disematkan oleh seorang psikiater Austria, Richard Freiherr von Kraft-Ebing dalam bukunya Psychopathia Sexualis, setelah membaca karya-karya Sacher-Masoch (yang paling terkenal adalah Venus in Furs, tentang fantasinya didominasi oleh wanita yang mengenakan busana berbulu-bulu).Â
Patung tersebut ternyata juga menandai restoran tematik lain, Masoch Caf, yang tentunya bernuansa masochism, lengkap dengan perangkat-perangkatnya! Sayangnya, restoran tersebut sedang tutup, sehingga saya tidak dapat mengintip bagian dalamnya (jangan lupa merogoh bagian dalam kantong celana si Sacher-Masoch untuk mendapatkan "sensasi" khusus!)
Ada pula restoran untuk memperingati penemu lampu teplok, serta restoran bernuansa Yahudi. Restoran yang terakhir ini, kata Olesya, sebenarnya tidak menghidangkan masakan kosher (hidangan halal sesuai syariat Yahudi), hanya nuansanya saja yang berbau Yahudi .... termasuk harganya yang harus "disepakati" melalui tawar-menawar dan tidak dicantumkan di menu!
Lviv memang memiliki sejarah yang cukup kelam sebagai ghetto terbesar di Ukraina. Di akhir masa pendudukan Nazi, nyaris tidak ada satu pun orang Yahudi yang tersisa di Lviv (dari populasi awal sebanyak ratusan ribu). Ada sebuah kisah memilukan di sini. Konon, tentara Nazi memerintahkan salah satu tawanan untuk menulis sebuah lagu tentang kebesaran Nazi, yang kemudian digunakan sebagai lagu latar pada saat mereka mengeksekusi para tawanan perang tersebut.
Ada cerita menarik tentang Levynskyi ini. Konon, untuk mendongkrak usahanya yang tidak kunjung dikenal orang pada awalnya, ia pernah menyuap konduktor tram setempat untuk menyebut nama pabriknya ketika melewati stasiun terdekat (alih-alih nama stasiun itu sendiri).
Dalam waktu singkat, Levynskyi pun banjir pesanan, tidak saja dari Lviv, tetapi bahkan dari negara tetangga, dengan biaya "iklan" yang sangat murah! Sayangnya, pabrik yang luar biasa sukses tersebut akhirnya bangkrut tak lama setelah Perang Dunia I berakhir akibat gagal bayar.
Tempat ini dulunya menandai batas kawasan tempat tinggal komunitas Ukraina di masa lalu. Memang, mirip dengan keadaan Indonesia pada zaman penjajahan, ketika Lviv berada di bawah kekuasaan Polandia dan Austria, bangsa pribumi hanya boleh menempati kawasan tertentu. Saat itu, pusat kota Lviv hanya berukuran 600 meter x 600 meter, dan kebanyakan orang lokal hidup di luar tembok kota.Â
Gereja ini didesain dengan gaya tradisional Ukraina (bertingkat tiga, dibagi dalam tiga bagian, dan memiliki tiga kupola/kubah kecil). Interiornya cukup mewah karena pembangunannya disponsori oleh salah satu yayasan paling berpengaruh saat itu, Lviv Dormition Brotherhood. Menara lonceng gereja ini (disebut Korniakt Tower) merupakan menara tertinggi di kawasan kota tua.
Dari tempat ini juga terlihat sebuah bukit kecil di mana terletak reruntuhan kastil tua (High Castleatau Vysoky Zamok), alun-alun, dan gereja, yang tidak digunakan lagi sejak pusat kota dipindahkan dari sana ke kawasan kota tua yang masih berdiri saat ini. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat berkunjung ke bukit tersebut untuk menikmati pemandangan kota yang katanya sangat cantik.
Katedral ini terkenal dengan lukisan muralnya yang dibuat oleh pelukis kenamaan Jan Henryk de Rosen. Di sini, Paus Yohanes Paulus II pun pernah memanjatkan doanya pada tahun 2001. Dari sini kami kembali ke alun-alun melalui Virmenska Street yang terkenal dengan toko, restoran, dan bangunan-bangunan antik bernuansa Armenia-Ukraina.
Kapel yang dibangun antara tahun 1609 - 1615 sebagai tempat pesemayaman jenazah anggota keluarga Boim ini lebih mengesankan buat saya, karena di mukanya terdapat ukiran cantik nan rumit hasil karya Andrzej Bemer.Â
Ukiran-ukiran dari bahan batu pasir ini mengisahkan beberapa adegan utama dari Injil, utamanya tentang penyaliban dan kematian Yesus (di samping patung para rasul seperti Petrus dan Paulus), sehingga juga dikenal dengan sebutan Alkitab bagi kaum papa.
Memang pada abad pertengahan, Alkitab hanya tersedia bagi kalangan pendeta, bangsawan, dan kaum terpelajar saja, sedangkan kaum papa yang buta huruf tidak dapat mempelajarinya secara langsung.
Perjalanan melelahkan melalui ratusan anak tangga yang cukup terjal terbayar lunas dengan pemandangan kota yang cantik dan menawan (ditambah lagi cuaca yang terang benderang tanpa awan). Ini beberapa fotonya:
Catatan tambahan:
Walaupun Ukraina merupakan negara pecahan Uni Soviet dan sebagian besar penduduknya dapat berbahasa Rusia, secara umum, bangsa Ukraina lebih senang menggunakan bahasanya sendiri (sepintas mirip dengan bahasa Rusia, dan juga ditulis menggunakan huruf Kiril).Â
Keengganan berbahasa Rusia ini semakin menjadi-jadi setelah pecahnya konflik antara Ukraina dan Rusia di Semenanjung Krimea beberapa tahun yang lalu. Bagaimana pun, perlu dicatat bahwa warga negara Ukraina berdarah Rusia lebih merasa sebagai orang Rusia daripada Ukraina, dan tetap berkomunikasi dalam bahasa Rusia. Mereka ini umumnya tinggal di kawasan yang secara geografis memang dekat dengan perbatasan Rusia.
Sebenarnya cukup ironis karena bahasa dan kebudayaan Rusia (dan Belarusia) saat ini sebenarnya berasal dari Ukraina. Kerajaan Kiev-Rus, yang berpusat di Kiev, merupakan pusat administrasi, pendidikan, dan linguistik dari negara-negara tersebut sebelum jatuh ke tangan bangsa Mongol pada abad ke-14/15. Bahkan pendiri kota Moskow pun berasal dari kerajaan ini.
Di Lviv, saya menginap di Dream Hostel, Lviv (sangat direkomendasikan) dan menggunakan Flexiroam untuk kebutuhan berinternet.
(Untuk konten dalam bahasa Inggris, kunjungi ini. Foto-foto perjalanan lainnya dapat dilihat di sini).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H