Bicara mengenai pariwisata di Nepal, umumnya hanya dua nama yang terlintas di benak kita, Kathmandu dan Pegunungan Himalaya. Namun, negeri atap dunia ini juga menyimpan banyak obyek wisata lain yang tidak kalah menarik untuk dikunjungi, salah satunya adalah Bhaktapur, sebuah kawasan bersejarah yang menyimpan banyak monumen penting berusia ratusan tahun. Yuk, kita kunjungi kota tua ini!
Bhaktapur, atau juga dikenal dengan nama Bhadgaon, merupakan salah satu situs warisan dunia UNESCO di Nepal yang terletak kurang lebih 15 km dari Kathmandu. Kota ini dibangun pada abad ke-12 oleh Raja Ananda Malla dan sempat dijadikan ibu kota dari Kerajaan Malla selama beberapa abad, hingga akhirnya jatuh ke tangan Prithvi Narayan Shah dari Dinasti Gorkha pada tahun 1769, yang dikenal karena berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di Lembah Kathmandu di bawah satu pemerintahan.
Untuk mencapai kota ini ada beberapa alternatif yang dapat dipilih, misalnya taksi dengan tarif antara NPR 700 – 1000 alias Nepali Rupee (tergantung kepiawaian Anda menawar) atau menyewa kendaraan pribadi. Namun saya sendiri memilih menumpang bus kota yang berangkat dari sebuah halte di Bagbazar, dekat Ratna Park, dengan tarif NPR 25 atau sekitar 3500 rupiah saja sekali jalan. Murah meriah, tetapi tentu dengan tarif serendah itu Anda tidak dapat mengharapkan tempat duduk yang nyaman dan pendingin udara. Sebagaimana transportasi umum lainnya di Nepal, kondisi bus kota ini memang sangat memprihatinkan, rata-rata merupakan kendaraan tua yang tidak akan lulus uji emisi dengan bangku yang keras (kalau Anda beruntung mendapatkan tempat duduk) dan pengap.
Belum lagi kondisi jalan yang tidak selalu mulus (bahkan di tengah kota sekalipun) akan membuat perjalanan Anda penuh guncangan. Namun bagi mereka yang berjiwa petualang, tentu pengalaman ini tiada ternilai harganya. Oh ya, supir dan kondektur bus umumnya tidak bisa berbahasa Inggris, namun Anda bisa meminta penumpang lain untuk menyampaikan tujuan kita pada mereka (rata-rata generasi muda Nepal di kota besar dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris).
Perjalanan dari Kathmandu ke kota tua Bhaktapur memakan waktu sekitar satu jam dan Anda akan diturunkan dekat gerbang alun-alun kota (Durbar Square) di mana bangunan-bangunan paling penting di kota tersebut terletak (“durbar” artinya “istana” dalam bahasa Nepal). Untuk memasuki kawasan kota tua ini, Anda harus membayar karcis masuk yang lumayan mahal sebesar USD 15 (Rp 220 ribu) namun berlaku untuk satu minggu. Warga negara Nepal sendiri tidak perlu membayar karcis masuk. Apabila dibutuhkan, Anda juga dapat menyewa jasa pemandu yang biasanya berkeliaran di sekitar pintu masuk walaupun Anda lagi-lagi harus pandai menawar. Para pemandu ini tidak menggunakan seragam resmi, dan banyak yang nampak dekil atau kumal, namun mereka memiliki tanda pengenal resmi dan cukup informatif.
(Bhaktapur Durbar Square)
Bhaktapur dalam bahasa Nepal berarti “kota para pemuja” dan sesuai namanya, terdapat banyak sekali kuil besar maupun kecil di sini. Sayangnya dua gempa besar pada tahun 1934 dan bulan April lalu telah meluluhlantakkan banyak di antaranya, termasuk Kuil Vatsala, salah satu kuil terkenal yang ditujukan bagi Dewi Durga. Namun demikian, masih terdapat beberapa bangunan lain yang cukup menarik untuk dikunjungi.
Tujuan pertama kami adalah Istana 55 Jendela. Istana ini awalnya dibangun pada tahun 1427 dan didesain ulang pada abad ke-17, dan memang memiliki banyak jendela dari kayu jati dengan ukiran-ukiran cantik yang menurut pengamatan saya lebih detil dan memukau daripada istana serupa di Kathmandu (kayu jati merupakan bahan yang jamak digunakan untuk istana dan kuil-kuil penting di Nepal). Untuk memasuki kompleks istana ini, kami melewati sebuah gerbang yang dinamakan Lu Dhowka (Gerbang Emas) yang lagi-lagi dipenuhi berbagai ukiran yang sangat cantik dan detil, termasuk di antaranya Dewi Kali dan Garuda. Konon, gerbang tersebut memang dulunya dihias dengan emas murni, namun setelah terjadi beberapa kali penjarahan, akhirnya hiasan-hiasan tersebut diganti dengan logam bersepuh saja. Bisa dibayangkan betapa cantiknya gerbang ini dahulu, hingga sejarawan terkemuka Inggris, Percy Brown, sampai menyebutnya karya seni terindah di seantero Kerajaan Nepal.
Melangkah ke area istana yang tidak begitu luas ini, di sisi kanan terdapat beberapa arca batu yang rupanya merupakan beberapa peninggalan kuno dari sekitar kompleks. Menariknya, terdapat pula arca Sang Buddha di antara arca dewa-dewi Hindu. Memang, walaupun umat Buddha di Nepal jumlahnya kurang dari 10%, namun unsur-unsur agama Buddha banyak mempengaruhi kebudayaan di negeri ini (fenomena sebaliknya dapat dijumpai di Thailand, di mana dewa-dewi Hindu banyak dipuja oleh umat Buddha yang mayoritas di sana).
Selangkah lebih dalam, akan nampak gerbang pintu masuk bangunan istana yang juga terbuat dari kayu dan diapit oleh sepasang patung yang menggambarkan raja dan ratu (pengunjung tidak diperbolehkan memasuki bangunan istana yang masih rapuh setelah gempa), dan di balik bangunan tersebut terdapat sebuah kuil pemujaan Dewi Taleju (dewi pelindung kerajaan) yang dibangun tahun 1553 dan dahulu digunakan oleh raja dan keluarganya. Saat ini, kuil tersebut masih dikunjungi masyarakat setempat secara rutin dan digunakan sebagai tempat upacara korban kerbau pada perayaan keagamaan tahunan terbesar yang disebut Dashain.
Walaupun secara resmi kuil ini hanya dapat dimasuki oleh umat Hindu setempat untuk beribadah, sang penjaga akhirnya memperbolehkan saya masuk setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar mengenai keberadaan umat Hindu dari Indonesia. Sayangnya kamera dan peralatan elektronik lainnya dilarang di lingkungan kuil, sehingga saya tidak dapat membagikan pengalaman saya dengan sempurna. Namun dapat saya katakan bahwa bangunan tersebut merupakan salah satu tempat ibadah yang paling cantik yang pernah saya kunjungi. Sejauh mata memandang, nampak berbagai ukiran kayu jati yang walaupun cukup lekang dimakan usia masih menyisakan kecantikan yang aduhai dan pesona yang sulit ditandingi.
Tidak jauh dari kuil Taleju tadi terdapat sebuah pemandian bagi keluarga kerajaan yang kini tentu sudah tidak lagi digunakan. Pemandian yang dibuat pada tahun 1678 ini juga tidak terlalu luas namun dihiasi berbagai patung dan ukiran yang cukup menarik, seperti ular kobra dan naga. Di sebelah kolam pemandian itu terdapat sebuah bangunan yang digunakan sebagai ruang ganti.
Setelah puas melihat-lihat kompleks istana, kami melanjutkan perjalanan ke alun-alun Taumadhi yang terletak persis di sebelah alun-alun utama. Di sini terdapat beberapa kuil bersejarah lainnya, seperti Kuil Bhairavnath yang ditujukan bagi Dewa Bhairawa sebagai manifestasi dari Dewa Siwa. Namun atraksi utama di sini adalah kuil tertinggi di Nepal yang dinamakan Kuil Nyatapola atau Kuil Panch Tale, artinya “lima tingkat”. Kuil ini didirikan oleh Raja Bhupatindra Malla (yang patungnya terdapat tepat di depan Gerbang Emas) sekitar tahun 1702 dan ditujukan kepada Dewi Siddhi Laksmi, yaitu dewi kesuburan dan kesejahteraan. Kuil yang tingginya sekitar 30 meter ini dikawal oleh sepuluh patung penjaga yang berpasang-pasangan, dari bawah ke atas patung prajurit (konon merupakan gambaran dari pegulat Rajput legendaris, Jayamala & Phatta), gajah, singa, garuda, dan Dewi Baghini dan Singhini. Menariknya, proses pembangunan kuil ini secara detil direkam dalam sebuah manuskrip yang berjudul Siddhagni Kothayuti Devala Pratistha, yang saat ini disimpan di Perpustakaan Arsip Nasional Nepal.
Pemberhentian terakhir kami adalah Tachupal Tole, sekitar 15 menit berjalan kaki dari Taumadhi, di mana terdapat Kuil Dattratreya yang berarti “tiga dewata”, di sini merujuk pada tiga manifestasi utama Tuhan dalam agama Hindu; Brahma, Wisnu, dan Siwa. Kuil ini merupakan kuil tertua kedua di Nepal (setelah Kuil Changu Narayan yang terletak beberapa kilometer dari Bhaktapur) dan terdiri dari tiga tingkat. Seperti Kuil Nyatapola, kuil ini juga dijaga oleh dua patung prajurit dan patung garuda yang terletak di atas sebuah pilar. Konon, bangunan ini didirikan antara tahun 1427 – 1458 oleh Raja Yaksha Malla dengan menggunakan kayu dari satu pohon raksasa saja.
Apabila Anda memiliki waktu luang, ada cukup banyak toko suvenir yang menjajakan kerajinan khas Bhaktapur, seperti gerabah, ukiran kayu, dan lukisan khas Buddhisme yang disebut “thangka”. Oh ya, jangan lewatkan juga yogurt khas kota ini yang dikenal dengan nama “juju dhau” alias “yogurt para raja”. Yogurt yang satu ini dibuat menggunakan susu kerbau dan biasanya juga digunakan dalam berbagai upacara keagamaan. Dengan petunjuk sang pemandu, saya membeli juju dhau dari sebuah kedai lokal dekat Kuil Dattatreya dengan harga NPR 100 atau Rp 15 ribu untuk porsi jumbo. Rasanya? Hmm, segar dan lembut dengan tekstur berbulir-bulir seperti tahu sutera yang dihancurkan dan sentuhan kapulaga yang digunakan sebagai perasa tambahan. Benar-benar cocok untuk mendinginkan tubuh di siang hari yang terik tersebut, di samping memberikan saya energi tambahan untuk berpetualang mengejar bus kembali menuju Kathmandu.
Selamat berwisata di Bhaktapur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H