Dalam kilas balik sejarah kolonialisme atau penjajahan di dunia, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling lama mengalami penjajahan.Â
Terhitung sejak tahun 1512 hingga tahun 1945 tercatat enam nama negara yang pernah menjajah negeri ini, yakni Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris dan Jepang.Â
Kemudian dari keenam negara tersebut Belanda adalah negara yang paling lama menduduki kursi penjajahan di Indonesia (sekitar 350 tahun). Tindak penjajahan ini tentu sangat menyengsarakan kehidupan masyarakat pribumi (sebutan masyarakat Indonesia dahulu) dengan berbagai sisi negatif disamping ada pula sisi positifnya.Â
Maka tak ayal bangsa Indonesia sampai sekarang banyak mendapat pengaruh dari negara-negara tersebut di berbagai bidang kehidupan. Bahkan mengarah pada terbentuknya akulturasi budaya, seperti misalnya di bidang kuliner.Â
Apabila melihat perkembangan kuliner di Indonesia sendiri, kita dapat menemukan banyak jejak akulturasi budaya di dalamnya. Mulai dari cara penyajian, menu makanan yang disajikan sampai cita rasa makanannya. Salah satu bentuk akulturasi budaya kuliner di Indonesia yang akan kita bahas adalah budaya makan "Rijsttafel"Â dari Bangsa Eropa, terkhusus Belanda.
Apa itu Rijsttafel?
Rijsttafel adalah istilah yang digunakan oleh kalangan keluarga Eropa (Belanda) untuk menunjukan sebuah budaya makan eksklusif yang menghidangkan berbagai macam hidangan menu dalam satu meja makan. Istilah "rijsttafel" pertama kali digunakan oleh orang Belanda untuk menunjukkan kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi yang akhirnya menjadi budaya sendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda.Â
Secara sederhana, dalam bahasa Belanda, budaya kuliner ini terdiri dari dua suku kata: "rijst" berarti nasi atau beras yang sudah di masak, sementara "tafel" bermakna meja juga bermakna kias untuk hidangan (Anggraeni, 2015: 92-93)
Budaya makan Rijstaffel sendiri merupakan sebuah budaya makan yang memadukan antara budaya makan orang-orang Eropa, khususnya bangsa Belanda, dengan budaya makan penduduk pribumi Hindia-Belanda (Indonesia sekarang).Â
Pertemuan budaya Eropa-Indonesia dalam Rijsttafel ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia yang berlangsung selama kurang lebih 3,5 abad.Â
Adapun istilah Rijsttafel ini mulai masuk dan populer di Hindia-Belanda sekitar tahun 1870-an. Saat itu, orang Belanda mulai banyak berdatangan dari daerah koloni berkat dibukanya Terusan Suez.Â
Singkat cerita, orang Belanda yang sedikit kaget dengan iklim tropis mulai menyesuaikan diri. Salah satu caranya, mereka harus beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan budaya negara koloninya, yakni Hindia-Belanda, termasuk dalam hal makanan.
Akulturasi Budaya dalam Rijsttafel
Dalam Rijsttafel, bentuk akulturasi budaya yang dapat kita temukan diantaranya etiket dan tata cara perjamuan serta peranti makan ala Eropa dengan jenis makanan pokok ala orang pribumi.Â
Di Eropa, khususnya di acara jamuan-jamuan resmi, budaya makan mereka diawali dengan makanan pembuka (appetizer), lalu makanan utama, dan diakhiri dengan makanan penutup. Peranti makan yang mereka gunakan adalah piring, pisau, sendok dan garpu ditambah meja dan kursi.Â
Sedangkan budaya Indonesia sendiri terlihat dari kebiasaan makan penduduk pribumi yang mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dengan berbagai lauk-pauknya.Â
Selain itu perpaduan budaya dalam Rijsttafel juga dapat terlihat dari menu makanan yang disediakan, seperti misalnya [1] Menu Belanda: bruine bonen soep (sup kacang merah), huzarensla (selada Belanda), Indische pastel (pastel tutup), dan zwartzuur (ayam suir-suir) dengan sentuhan rempah-rempah Indonesia; dan [2] Menu pribumi (Indonesia): nasi kebuli, dawet, sayur menir, gado-gado dan lainnya.
Dampak positif dari pertemuan budaya yang terjadi dalam Rijsttafel pada masa kolonial berujung pada lahirnya fenomena baru dalam budaya makan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, dari kebiasaan makan yang pada umumnya duduk lesehan, menggunakan piring kayu atau daun pisang, dan menyuapkan makanan dengan menggunakan tangan, menjadi budaya makan masyarakat pribumi yang lebih sopan dan higienis, yakni dengan menggunakan peranti makan seperti sendok, garpu, pisau dan lain-lain (Puspasari, 2021).Â
Sampai sekarang, di Indonesia sendiri sisa-sisa budaya Rijsttafel masih ada. Seperti misalnya dalam hal cara makan dan cara perjamuannya. Selain itu konsep penghidangan banyak menu makanan dalam Rijsttafel juga masih dipraktikan di Indonesia dengan adanya transformasi dan nasionalisasi yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia seperti konsep buffet atau prasmanan di berbagai acara formal.Â
Mengutip perkataan Fadly Rahman, penulis buku "Rijsttafel", kepada situs Hypeabis.id bahwasanya perbedaan konsep rijsttafel masa kolonial dengan prasmanan masa sekarang adalah bentuk pengambilan makan dimana pada masa kolonial pelayan langsung datang ke meja, tapi sekarang kita mengambil sendiri hidangan di meja (Felise, 2021).Â
Selain itu berbagai hidangan lauk pauk dari kedua bangsa ini masih terus bertahan sampai sekarang. Bahkan beberapa menu Belanda, seperti semur (smoor) dan perkedel (Erikadel), berkembang menjadi kekayaan makanan nusantara yang dimodifikasi dengan rempah-rempah Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H