Sudah lama sejak aku terakhir kali menginjakan kakiku di Desa Cipaku (Sumedang Jawa Barat), aku tak lagi tahu kondisi disana seperti apa. Kemarin Tuhan memberikan aku kesempatan untuk menjamah lagi mereka disana. Meski dengan cerita berbeda akhirnya aku sampai disana, udara panas siang itu rasanya seperti membakar kulitku, pepohonan yang rindang dan hamparan sawah yang hijau tak lagi kulihat, baru dua bulan aku meninggalkan tempat itu, saat aku kembali semua sudah berubah. Teriknya matahari siang itu dan gersangnya pemandangan tak mengurani kebahagiaanku bertemu kembali dengan warga Cipaku, khususnya dengan Teh Awang dan Nini yang memberikan aku tempat untuk bermalam kembali. Bisa melepaskan rinduku bersama mereka rasanya bahagia, aku tak bisa sembunyikan rasa bahagiaku saat itu, perjalanan menuju desa cipaku yang begitu panjang aku ceritakan pada beliau, senang hati ini melihat masih ada tawa di wajah mereka, meski aku tahu jauh dilubuk hati mereka ada kesedihan mendalam akan keadaan genting yang sedang mereka alami.
Jika dulu aku datang dengan persiapan yang jelas dan matang, tapi kali ini aku datang hanya sebatas bersilaturahmi pada mereka yang sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri. Merebahkan badan yang sudah lelah dalam perjalanan yang aku lakukan siang itu. Sorenya aku dapatkan sebuah pesan dari abangku, untuk melakukan hal yang sama seperti waktu itu pada warga yaitu memberikan gerakan relaksasi sederhana, tapi dengan mengunjungi rumah mereka langsung. Dengan persiapan seadanya, aku dan kawanku memberanikan diri untuk berbaur bersama warga, ternyata mereka masih mengenali aku, senang rasanya. Mereka mengira aku akan melakukan “
Body Movement” kembali seperti saat itu. Mendengarkan keluhan mereka dan mencoba berbaur bersama mereka, mambuatku mulai merasakan apa yang mereka rasakan pula.
Hingga sore harinya udara disana masih panas, mungkin karna sedang musim kemarau dan ditambah keadaan disana yang juga sedang panas. Kondisi psikologis mereka yang sedang terguncang, sangat nampak pada wajah mereka, tubuh tubuh yang penuh dengan amarah dan ketakutan sangat terlihat jelas oleh kami. Tak banyak yang bisa aku berikan, tapi setidaknya dengan sedikit ilmu psikologi yang telah aku miliki aku mencoba untuk membantu mereka. Memijat bagian bagian tubuh yang bisa merilekskan mereka sejenak, mendengarkan keluhan mereka, dan menjadi teman untuk mereka, setidaknya hanya itu yang bisa kami lakukan saat itu.
Begitu banyak yang mereka ceritakan, yang intinya adalah mereka sedang dalam ketakutan. Rumah, lahan, sawah ternak dan sejarah dari hidup mereka mau tidak mau harus mereka tinggalkan saat ini, dalam hitungan hari saja mereka harus lakukan itu, tak ada persiapan cukup dari sisi materi apalagi psikologis, tak ada ganti rugi yang layak apalagi pendampingan psikologis untuk mereka, inikah keadilan untuk rakyat yang bangsanya sudah berdaulat ?
Tak bisa berkata, hanya bisa berdo’a “Bersabarlah saudara, Tuhan tak pernah tidur” , akupun bisa merasakannya, tapi entah mengapa mereka yang bertahta tetap saja pura pura tak merasa, dengan terus diam dan teguh dengan penggenangan itu. Bukan hanya melihat yang bernyawa, akupun mengunjungi situs situs yang menjadi kekayaan budaya yang sangat dijaga oleh masyarakat Cipaku, sesepuh Sunda yang bersemayang disana menjadi satu alasan mereka tak ingin meninggalkan tempat tersebut. Dulu tanah yang mereka diami pernah jadi saksi sejarah, dan kini tanah yang menjadi saksi bisu itu akan ditenggelamkan bersama ambisi sebuah mega proyek yang entah kemana mengalirnya keuntungan yang akan di dapat itu, yang jelas masyarakat Cipaku yang menjadi salah satu korbannya.
Menyebrangi sungai yang akan menjadi sumber air untuk waduk jati gede membuatku takut, takut karna aku tak bisa berenang, tapi di depan sana ada sebuah bendungan yang sangat ingin aku lihat, bendungan yang akan merenggut hak hak kemanusiaan warga Cipaku. Sesampainya di atas bukit, aku melihat bendeungan besar itu, tembok besar bak sebuah tembok istana yang akan menjadi rumah untuk air yang akan menenggelamkan belasan desa di kecamatan Darmaraja.
Menghela nafas sejenak, tak bisa aku bayangkan kekayaan alam yang berlimpah, situs situs sejarah yang tak ternilai harganya, dan kehidupan kehidupan warga disana akan menjadi sebuah bendungan yang besar itu. Demi menampung air, bangsa ini tega melakukan itu semua. Apakah air yang Tuhan berikan untuk bangsa ini masih kurang hingga manusia harus membuat sebuah bendungan yang harus mengorbankan banyak hal dan banyak pihak ?.Entahlah, yang jelas aku sekarang menyadari
bukan dunia yang kejam, tapi manusia yang membuat dunia ini kejam.
31 Agustus 2015 katanya bendungan itu akan diresmikan oleh mereka yang bertahta, jika memang benar, bagaimana nasib warga yang masih berdiam dan tetap mempertahankan rumah mereka, rumah leluhur mereka, apakah setega itu bangsa ini melakukan itu ?.
“
Dear Sahabat… Andai tangan yang Tuhan berikan pada kita bisa merangkul saudara saudara kita disana, mungkin tak akan terlalu berat beban yang harus mereka tanggung sekarang. Setidaknya uluran tanganmu bisa menguatkan mereka disana, tapi sayang kita dan mereka terhalang oleh ketidak pedulian. Kita terlalu sibuk dengan beban kita masing masing. Aku hanya berpikir, seadainya lebih banyak hati yang terketuk, lebih banyak kaki yang melangkah, dan lebih banyak keberanian, mungkin ketidak adilan ini bisa kita lawan bersama, bersama ketakutan yang sedang mereka hadapi dalam ketidakberdayaan sebagai rakyat yang suaranya tak di dengar oleh para pemilik tahta.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya