Mohon tunggu...
Kelvin Rudh
Kelvin Rudh Mohon Tunggu... Lainnya - Demi Tugas

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Slametan Dalam Tradisi Jawa

10 Mei 2020   14:24 Diperbarui: 8 Juni 2021   21:17 8811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asssalamualaikum wr, wb. Dalam kesempatan kali ini, saya ingin menuliskan apa yang dapat saya pahami dari budaya slametan di dalam masyarakat jawa. 

Istilah slametan sudah sangat terkenal di pulau Jawa. Slametan merupakan salah satu adat istiadat atau budaya orang jawa, termasuk juga menjadi ritual keagamaan yang populer bagi masyarakat islam pulau Jawa. Istilah Slametan berasal dari bahasa jawa, yaitu slamet yang berarti selamat. 

Istilah slametan tidak hanya berada di pulau Jawa. Istilah slametan  juga terdapat selain di pulau Jawa. 

Tetapi masyarakat luar pulau Jawa mengenalnya dengan tradisi doa bersama. Konon slametan adalah salah satu cara yang dilakukan para penyebar agama islam atau yang lebih dikenal dengan walisongo untuk mengajak masyarakat pribumi Indonesia mengenal agama islam. 

Baca juga : Nyadran, Tradisi Jawa Sambut Bulan Ramadhan

Karena agama menampilkan banyak wajah, tidak hanya sekedar ibadah. Agama yang asalnya satu bisa berwujud aktivitas beragam yang menggiring pada kerukunan dan harmonitas sosial bila pemeluknya paham atau mengerti agama dan menyadari keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat.

Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata atau kasar dan juga makhluk halus (suatu keadaan yang disebut slamet). 

Walaupun kata slamet dapat digunakan untuk orang yang sudah meninggal (dalam pengertian "diselamatkan"), ada juga yang mengatakan bahwa kata slametan tidak layak digunakan dalam upacara pemakaman, dan menggunakannya berarti keliru.

Alasan utama penyelenggaraan slametan meliputi perayaan siklus hidup seorang bayi, menempati rumah baru, panen hasil pertanian dan dalam rangka memulihkan harmoni setelah perselisihan suami istri atau dengan tetangga, untuk menangkal akibat mimpi buruk, dan yang paling umum memenuhi nadzar atau janji, misalnya bernadzar akan menyelenggarakan slametan kalau anaknya sembuh dari sakit, tetapi tidak ada alasan yang lebih kuat daripada keinginan mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.

Menurut Hildred Geertz, ia telah membagi setidaknya menjadi empat jenis kategori utama, yaitu a) Selamatan yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian. 

b) Selamatan yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam. 

c) Selamatan bersih desa ("pembersihan desa") , berkaitan dengan integrasi sosial desa. 

d) Ritual Selamatan untuk kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.

Baca juga : Nasi, Ayam, dan Telur sebagai Tolak Bala dan Makanan Sakral dalam Tradisi Jawa

Dalam praktek menjalankannya, slametan dilakukan dengan mengundang beberapa  kerabat atau tetangga dan juga para tetua desa. Dan seseorang yang dalam istilah Jawa dikenal dengan nama modin   Secara tradisional acara slametan dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk. Dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Selamatan juga merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mengalami akulturasi. Masyarakat Jawa terkenal dengan tradisi budayanya yang kental dan dipengaruhi oleh ajaran dan kepercayaan dari kebudayaan Hindu-Budha. 

Oleh karena itu, para ulama Islam yang menyebarkan agama Islam di Jawa, atau lebih dikenal sebagai Wali Songo, melakukan langkah atau upaya akulturasi sebagai cara mereka untuk mengajarkan ajaran agama Islam ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. 

Pencampuran ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekagetan terhadap budaya baru (culture shock) pada masyarakat Jawa yang sudah mengenal budaya Hindu-Budha sehingga dapat menerima dan mengamalkan ajaran agama Islam secara sukarela dan tanpa merasa meninggalkan tadisi nenek moyangnya.

Pada masa Hindu-Budha tepat sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan diadakan untuk berterimakasih kepada para dewa dan leluhur mereka atas nikmat yang diberikan. Tradisi ini dilakukan dengan menyiapkan berbagai jenis makanan atau buah-buahan untuk dijadikan sesajen. 

Baca juga : Ruwatan, Tolak Sengkala dalam Tradisi Jawa

Setelah Islam masuk, Selamatan saat ini diartikan sebagai suatu acara yang diadakan sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. 

Selamatan ini dilakukan dengan kehadiran beberapa anggota masyarakat yang di depannya disajikan berbagai jenis makanan dan dilakukan pembacaan do'a yang dipanjatkan kepada Allah SWT oleh seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat tersebut.

Akulturasi sangat berperan penting dalam upaya penyebaran agama Islam, terutama di pulau Jawa. Dengan dilakukannya akulturasi, Islam dapat membenahi kebudayaan yang bertentangan dengan agama menjadi selaras dengan agama, tanpa mengubah kebudayaan asli masyarakat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun