Maka paradigma etis bahwa pada dasarnya manusia ingin dan berbahagia jika berbagi dan menjadi manfaat bagi orang lain dan alam semesta, nampaknya membutuhkan konsistensi dalam praktik kehidupan kelaziman keseharian relasi antar manusia yang disebut bisnis tersebut.
Karena sesungguhnya semua orang tahu bahwa tidak ada kapital tersembunyi yang bisa dijadikan jaminan maya bagi sebuah transaksi nyata. Tidak ada invisible hand yang dengan ghaib (mitosnya) berpartisipasi menintervensi dan mengotak-atik licik dalam transaksi seperti yang selama ini dikagumi oleh kerakusan yang mengukur keberhasilan dari - sekali lagi - DIRI.
Reorientasi Nilai Bisnis
Memenuhi kebutuhan diri tentu sangatlah penting, dan sama pentingnya bagi setiap orang - apapun pilihan jalan hidup dan minat terbaik yang ditekuninya - pun bagi alam semesta sumber hidup tiap makhluk. Nilai bisnis yang paling mendasar tentu perlu melihat keutuhan ini.
Relasi adalah bentuk perjumpaan yang selalu mengandung dampak pada semua pihak. Memenuhi kebutuhan diri dengan demikian perlu dipahami sebagai bagian dari melengkapi kebutuhan sesama dan semesta.Â
Namun karena semesta tak butuh apa-apa, itulah sebabnya bagi banyak tradisi disadari bahwa manusia dan relasi antar makhluknya adalah usaha mempercantik kecantikan semesta belaka (Memayu Hayuning Bhawana).
Maka ukurannya jadi makin sederhana. Pada semesta, apakah relasi bisnis kita makin mempercantiknya? Pada sesama, apakah relasi bisnis kita itu memperlihatkan wujud semangat berbagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H