Saya jadi membayangkan, kira-kira apa alasan sopir, kondektur, kernet, dan makelar-makelar di terminal-terminal? Apa alasan para pedagang yang terus berteriak menjajakan dagangannya sekalipun sudah berada di pinggir jalan membuat macet dilengkapi dengan tulisan besar jenis produk dan harganya, bahkan barang dagangannya itu sendiri nampak jelas kelihatan?Â
Sampailah saya pada kenyataan bahwa, hal yang sama terjadi juga di sekolah-sekolah, terutama jika murid-muridnya masih kanak-kanak. Guru berteriak-teriak di tengah kegaduhan murid yang semakin menikmati kegaduhannya dibalik volume keras teriakan gurunya. Jangan-jangan begitu juga yang terjadi di rumah. Orang tidak percaya lagi bahwa petunjuk, anjuran, ajakan, rayuan yang sudah tertulis dengan jelas itu sampai ke tujuan dengan efektif.
Tadi pagi, sekali lagi aku mengalaminya. Sama seperti di pesta, hajatan, atau perayaan yang lain. Pemegang microphone seolah menjadi orang yang sedang kalap, bekerja sama dengan operator sound system memaksimalkan suaranya. Seolah itulah cara paling efektif untuk menyampaikan pesan pada semua hadirin. Seolah itulah metode paling jitu untuk mengendalikan masa.
Tradisi braokan nampaknya berpulang pada pertanyaan paling menyakitkan: Apakah masyarakat kita ini masih bisa disebut sebagai sejenis masyarakat yang budaya dan tradisinya halus, lemah lembut, tenang? Mungkin inilah inti dari nasehat para tetua yang dulu sering aku dengar. Bahwa sesungguhnya, tradisi kita bukanlah tradisi braokan, dan bersukurlah jika mengenal tulisan dan teknologi yang mempermudah penyampaian pesan, karena itu adalah anugerah agar kita tidak jatuh dalam godaan masuk pada golongan orang braokan.
Penting dan serius itu keras bunyinya
Dari pengalaman lain saya melihat bahwa tradisi braokan itu juga terjadi ketika orang hendak menyampaikan sesuatu yang dianggapnya serius dan penting untuk didengar banyak orang. Jadi hal ini tidak harus terjadi dalam retorika akbar di lapangan-lapangan saat kampanye. Usaha meyakinkan orang dengan cara braokan itu terjadi bahkan di kelas-kelas juga yang didampingi oleh para guru nan sabar yang meminta si murid memberi penekanan pada kalimat-kalimat penting dan serius dengan penekanan melalui teriakan dan seringkali semacam meluapkan kemarahan.
Jangankan politikus yang sedang membela diri untuk lepas dari jeratan hukum, tradisi braokan dalam menyuarakan hl penting dan serius itu bahkan ada dan dilakukan oleh hampir semua peserta lomba pidato tingkat Sekolah Menengah Pertama. Tidak peduli muatan yang disampaikan itu berbicara tentang apa. Ketika sampai pada kalimat penting dan serius yang memerlukan penekanan, munculah teriakan - kadang sangat melengking dan panjang - yang jelas merupakan bentuk nyata tradisi braokan itu.
Sebagaimana seorang komandan kompi tentara memberi perintah kepada anak buahnya, bahkan sering kita jumpai di mimbar-mimbar akademik dan keagamaan, tradisi braokan untuk meyakinkan betapa penting dan seriusnya pesan yang disampaikan terjadi nyaris sama saja. Bahkan orang bicara tentang perdamaian, kesucian, kemuliaan, kebaikan hati, cinta, kasih, toleransi, keadilan, dan semua nilai keutamaan positif, tetapi menyampaikannya tak jarang dengan tradisi braokan pula.
Nah kembali kita diperhadapkan pada pertanyaan menyakitkan yang kedua: Sekalipun tidak dengan tujuan dan goal yang berorientasi pada tindak kekerasan dan kebencian, kalau pesan penting dan serius itu disampaikan melalui mekanisme tradisi braokan, apakah sebenarnya yang hendak dicapai?
Semua orang itu bodoh
Setahu saya, sistem pendidikan di dunia ini sudah semakin hebat dan kreatif dalam memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru agar orang mendapatkan pemahaman tentang sesuatu. Orang kebanyakanpun sudah tidak asing untuk bicara soal keragaman bentuk intelegensi anak. Orang sekarang juga sudah membiasakan diri untuk semakin membebaskan agar setiap individu dapat berekspresi berdasarkan minat terbaiknya.
Nah dalam kesadaran seperti itu maka tradisi braokan itu bukan hanya kontra produktif terhadap segala usaha mendidik yang sudah diproses namun juga memberi kesan seolah pendengar, para orang yang menerima pesan adalah orang-orang bodoh semua. Yaitu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan mengolah informasi dengan arif sehingga butuh dan selalu merindu untuk diteriaki, dibentak, dikasari dan diperlakukan sebagaimana layaknya orang bodoh.
Maka kalau masih sempat berpikir jernih akan timbul keanehan kontradiktif. Kala ide-ide besar, karya-karya agung, pesan-pesan suci dan bermoral, ajakan martabat dan menjadi bijak, dorongan untuk disiplin dan menghormati sesama, ternyata dalam prakteknya dijalani dengan menggunakan tradisi braokan, dan bahkan menganggap inilah jalan terbaik dan terefektif. Apa akibatnya?