Fungsi ruang publik
Mungkin cukup jelas dijabarkan dalam perundang-undangan apa, mengapa, dan bagaimana ruang publik - terutama dalam kepadatan masyarakat kota - itu harus disikapi, dihargai dan difungsikan. Bahkan saya cukup yakin bahwa studi mengenai hal ini terus dilakukan dalam rangka memperbesar mudharatnya bagi siapapun.
Satu hal yang paling nyata dibalik semua konsepsi dan perencanaan yang sedang dilakukan adalah realitas keseharian perlakuan kita terhadap ruang publik itu. Perjumpaan kita dengan panorama, lingkungan hidup, manusia lain, dan simbol serta penanda yang ada di dalam ruang publik itu penting dan memberi pengaruh yang membangun karakter sebuah masyarakat.
Pertama,
berada di ruang publik adalah berada di dalam kesadaran bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia ini. Setiap orang berinteraksi di sana. Dan hasil interaksi di dalam ruang publik itulah yang akan juga mempengaruhi bagaimana cara pandang dunia seseorang terhadap panorama-lingkungan hidup-manusia lain-dan penanda yang tersedia.Â
Kedua,
berada di ruang publik adalah berada dalam persimpangan beragam kebutuhan, kepentingan, kehendak, siasat, ancaman, peluang, dan segala macam dinamika usaha manusia untuk tetap survive dan menjalani hidupnya dengan lancar. Ruang publik jelas secara mendasar adalah ruang paling berbahaya sekaligus juga ruang paling menjanjikan. Jika hendak diumpamakan, ruang publik adalah laksana surga dan neraka sekaligus. Dimana satu orang yang ingin menggapai surga dapat dengan celaka menjumpai neraka. Dan juga orang yang bersiasat menempatkan diri nerakanya disana terberkati dan menemukan surga. Begitulah pentingnya kesadaran tiap orang untuk selalu waspada terhadap bagaimana sebenarnya perlakuan kita terhadap ruang publik.
Ketiga,
yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan ruang publik itu berasal dari kesadaran ekologis (kesadaran keterhubungan segala makhluk dalam alam), kesadaran kultural (perjumpaan lintas ekspresi dan karya cipta manusia dalam menjumpai makna hidup mendasarnya), serta kesadaran sosial (perjumpaan antar kepentingan personal; termasuk di dalamnya kepentingan ekonomis-keamanan-kenyamanan-hiburan-pendidikan). Jadi pada hakekatnya, ruang publik tercipta dengan kesadaran adanya tatanan pembagian, idealisme keteraturan, dan kemerdekaan ekspresif yang tidak egoistik.
"Satu hal yang ingin saya tekankan disini, bahwa tidak semua ruang publik harus dilihat sebagai PASAR; tidak sekedar sebagai tempat transaksi kebutuhan dan kepentingan, tidak pula sebagai tempat mendidik diri untuk melihat bahwa semua hal dalam hidup alam semesta ini bisa dikapitalisasi"
Contoh paling ekstrim dalam hal ini adalah bagaimana kita memfungsikan jalan raya. Apapun jenis jalan, entah jalan kampung, jalan desa, jalan kabupaten-kota hingga jalan provinsi atau jalan negara, fungsi jalan adalah sama seperti gang dan lintasan orang berjalan di gedung, di trotoar, di dalam tempat ibadah. Semua sama fungsinya. Yaitu memberi ruang khusus agar perjalanan yang ditempuh seseorang tidak terinterupsi oleh banyak halangan.
Jalan ....
laksana sungai yang menyediakan ruang agar air mengalir dengan lancar, sehingga kehidupan manusia dapat terdistribusi, termobilisasi, terkoneksi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan - kalau perlu - menyenangkan. Â Jadi jika jalan disebut sebagai ruang publik adalah menandai bahwa yang diutamakan disana adalah kelancaran perpindahan orang dan barang serta keselamatannya sampai tujuan. Disana bukan tempatnya untuk duduk-duduk minum kopi, ada tempat lain untuk itu. Disana juga bukan tempat yang bisa disemena-menai ditutup paksa, untuk hajatan atau bikin pesta rakyat atas intruksi kepala daerah. Pelanggaran terhadap hakekat dasar fungsi sebuah ruang publik seperti inilah yang memberikan pesan dan ajaran bagi banyak generasi untuk menjadi tidak tahu, apatis, kompromis, bahkan seringkali arogan terhadap ruang publik.
Jadi kalau ada pertanyaan siapa mengkapitalisasi ruang publik? Ya kita semua. Kaki lima termasuk juga pelanggannya. Sama saja dosanya, baik itu menjemur kasur di gang, menutup jalan untuk hajatan, mengalihkan jalur untuk bisnis dadakan, menutup jalan untuk pameran, dari segi kapitalisasi ruang publik, dosa kita semua sama. Menjadikan jalan sebagai garasi, menaruh rongsokan, atau tempat bermain sepakbola, adalah sama-sama merupakan tindakan mengkapitalisasi ruang publik.
Mengapa? karena sebenarnya untuk melakukan itu semua, orang, lembaga, institusi, korporasi mestinya mengeluarkan biaya untuk menyediakan ruang-ruang aktifitas prifatnya, nah biaya itu dibagikan menjadi beban publik - bersama semua orang yang sebenarnya memiliki hak yang sama pada saat itu terhadap ruang publik tersebut.
Jadi kalau anda membeli Nasi Pecel lantas harus parkir seenaknya menggunakan jalan raya, itu adalah pertanda bahwa anda mengijinkan sebuah Mall besar atau Hotel besar menjadikan jalan raya disekitarnya sebagai ruang parkir.Â
Kesadaran mengkapitalisasi ruang publik dimulai dengan melihat kebiasaan kita. Itu dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H