Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Ramadhan Adalah Sakramen

1 Juli 2015   19:08 Diperbarui: 1 Juli 2015   19:16 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap dan pendirian iman. Lazim dijadikan alasan oleh orang Kristen bahwa praktek keagamaan yang bersifat ritualistik adalah sarana, alat, media, dan kesempatan yang dimiliki oleh tradisi kekristenannya untuk memperlihatkan sikap dan pendirian iman. Dan karena kebanyakan gereja di Indonesia bersifat organisatoris berpusat pada gereja (gedung atau bangunan milik gereja), maka ukuran sikap dan pendirian iman itu pertama-tama dilihat dengan sistem keanggotaan. Maksudnya, seseorang adalah Kristen legalitasnya ditentukan oleh organisasi gereja tertentu.

Legalitas sikap dan pendirian iman ini tidak hanya bersifat formal berpengaruh pada keanggotaan seseorang, kadang juga bisa dijadikan tanda aliran atau pandangan teologis yang dipilihnya. Setidaknya ada 5 golongan besar dalam kekristenan di Indonesia yang bisa dilihat dalam pola seperti ini. Katolik-Orthodox, Kristen Protestan-etnis-tradisionalis, Injili-Pantekosta-Kharismatik, Adventis, dan kelompok non-denominasional, yang rajin menghubungkan keanggotaan dalam organisasi gereja sebagai ukuran dari sikap dan pendirian iman.

Dalam situasi begini, sikap dan pendirian iman seringkali tergantung sepenuhnya pada para klerus (pimpinan gereja) baik yang bersifat tunggal-monolitik maupun yang bersifat kolegial. Maka bagaimana umat memahami dan memaknai praktek ritual agama lain juga biasanya dikontrol dan ditentukan oleh para klerus tersebut. Sekalipun selalu ada pengecualian, sering terdengar bahwa praktek Puasa sahabat muslim dihormati sebagaimana praktek mereka melakukan aktivitas berorganisasi sebagaimana orang Kristen yang “baik” adalah yang rajin mengunjungi gereja, atau setidaknya yang keanggotaan bergerejanya jelas.

Beberapa gereja juga sudah mulai meningkatkan penghargaannya dengan berdasar pada aktifitas ritual mengikuti kalender tahunan keagamaan Kristen. Penanggalan aktivitas jemaat yang dikaitkan dengan sikap dan pendirian iman ini telah lama lazim dipraktekan dalam gereja Katolik, dan ketika juga menjadi populer di kalangan kekristenan yang lain, praktek Puasa Kristen juga menjadi aktifitas penting. Demikianlah kemudian praktek Puasa sahabat muslim dapat lebih dipahami dengan baik. Namun terbatas pada pemahaman dan pemaknaan ritual tahunan. Dengan kata lain orang Kristen memandang puasa sahabat Muslimnya sebagai salah satu ritual yang perlu dijalani sebatas sebagai sebuah upacara yang sesuai dengan kalender ritual tahunan yang dimilikinya. Bagaimana dalam ritual tahunan itu sebuah upacara dimaknai; sejauh mana tingkat kesakralan, kedisiplinan, kerapian detail pelaksanaannya, belum menjadi perhatian dalam kejujuran semangat dialog yang dibangun untuk memahami praktek Puasa sahabat Muslimnya.

Sikap tentang  praktek keagamaan. Persoalan kedua adalah tetang menafsirkan praktek puasa. Dalam banyak kesempatan, saya melihat penekanan yang dilakukan oleh orang Kristen adalah pada ketidakharusan berpuasa. Prinsip dasarnya mungkin hampir serupa dengan apa yang dimiliki oleh sahabat muslim, yaitu bahwa Puasa adalah praktek yang dijalani sebagai relasi personal dengan Tuhan. Sejauh yang saya tahu, bagi sahabat Muslim, justru karena itu bentuk relasi personal maka menjadi sangat penting - sangat sakral, sehingga perlu selalu diingatkan sebagai kewajiban dalam tingkat keharusan. Namun bagi orang Kristen, sesuatu yang bersifat personal itu menjadi tidak perlu diharuskan, tergantung pada kemauan dan niat tiap-tiap orangnya. Karena yang lebih memiliki tingkat keharusan adalah yang bersifat komunal, dipraktekkan secara bersama-sama dalam waktu dan ruang yang sama.

Sampai disini, sekedar sebagai sebuah catatan, tentu harus terus disadari bahwa praktek desakralisasi dan sakralisasi terhadap sebuah ritual selalu merupakan dinamika tersendiri dalam tiap-tiap agama. Sementara sahabat Muslim cenderung semakin mensakralisasi praktek ritual yang bersifat personal; Shalat lima waktu, membaca al-Quran, dan Puasa, orang Kristen cenderung semakin mensakralisasi praktek ritual yang bersifat komunal; hadir di Gereja, bakti sosial bersama, dan yang paling dianggap sakral adalah mengikuti sakramen (Ritual membabtiskan anak dan Perjamuan Kudus).

Begitu fleksibelnya siap terhadap praktek keagamaan dalam kekristenan, puasa bahkan sering dipahami sebagai praktek ritual yang tidak harus berarti tidak makan dan tidak minum. Puasa tidak langsung berhubungan dengan persoalan pola dan jadwal makan dan minum. Juga tidak berhubungan dengan kesempatan pengembangan-perayaan istimewa bagi keimanan seseorang. Sejauh yang saya tahu, bagi sahabat Muslim, praktek dan disiplin Puasa relatif dijalani dengan cara yang sama. Ada banyak detail yang perlu diketahui agar sebuah Puasa itu memenuhi syarat pemaknaan atau tidak. Bahkan ada banyak model penafsiran baik terhadap praktek yang sangat umum, hingga sampai pada pengecualian-pengecualian yang manusiawi sifatnya. Peraturannya relatif sama, sehingga memudahkan untuk mempraktekkan secara disiplin. Sesuatu yang jelas tidak dimiliki oleh tradisi Kekristenan dalam memandang puasa.

Ada banyak alternatif tindakan-pemaknaan yang sering ditawarkan oleh kekristenan untuk mempraktekkan puasa. Sederhananya bisa dicontohkan demikian; dalam makna berbagi maka praktek Puasa adalah mengurangi atau meniadakan dalam jangka waktu tertentu kebutuhan pribadi untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang lebih memerlukannya. Jadi letak pemaknaan puasanya lebih pada kerelaan untuk tidak hidup sesuai dengan haknya demi kepentingan orang lain. Praktek keagamaan (dalam hal ini Puasa) dengan demikian dipandang sebagai negosiasi etis tentang pemenuhan kebutuhan hidup; sebuah cerminan kebaikan hati; sebuah tindakan iman melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan secara sosial.

Dari contoh ini nampaklah bahwa puasa sebagai praktek keagamaan berada pada pemaknaan terhadap moralitas sosial, setidaknya dalam hal kesediaan merelakan sesuatu untuk orang lain. Tentu ini menguntungkan bagi kerja lintas agama untuk melakukan aksi sosial yang bermanfaat di masyarakat dan tentu meneguhkan tujuan dari praktek Puasa. Pemaknaan kesakralan Puasa yang dimiliki oleh sahabat Muslim sebenarnya mudah dilihat dari cara mereka menghayati dan melihat begitu berharganya bulan Ramadhan. Bahkan disebut sebagai bulan Suci, waktu segala kebaikan kemanusiaan dipraktekkan, dan ruang khusus bagi relasi vertikal umat dan Tuhan ditegaskan. Namun entah mengapa pemaknaan kesakralan ini tidak terlalu sering menjadi perhatian orang Kristen. Padahal dengan pemaknaan kesakralan seperti itu saja, Ibadah Puasa sahabat Muslim dapat dikatagorikan sebagai Ibadah Sakramen dalam Kekristenan.

Mitos keunikan agama Kristen dalam hal kesakralan. Dalam Kekristenan harus diakui adanya mitos-mitos tentang keunikan kekristenan yang dipercaya banyak orang Kristen yang kemudian mempengaruhi cara berpikirnya terhadap dunianya, termasuk terhadap agama lain dan secara lebih spesifik termasuk kepada praktek sakral agama lain. Pada dasarnya mitos keunikan ini berasal dari tradisi konsepsional sejarah kekristenan itu sendiri. Jadi bukan berarti bahwa mitos-mitos itu adalah pendirian resmi atau kalimat sepakat bagi keseluruhan orang Kristen.

Dalam konteks tertentu mitos-mitos keunikan agama kristen itu diperlemah atau diperkuat oleh tradisi, budaya, dan model interaksinya dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks Indonesia beberapa mitos keunikan yang diperkuat adalah berkembangnya tradisi dalam kekristenan yang “sangat hati-hati”, selektif, dan bisa dikatakan digunakan untuk meningkatkan “nama” agama Kristen dalam persaingannya dengan praktek tradisi, budaya, dan agama lain. Sumber bertumbuhnya mitos keunikan ini sebenarnya lazim dalam agama apapun yaitu tentang kebenaran, keselamatan, dan kemurnian yang diasumsikan telah menemukan bentuk dan praktek terbaiknya seperti yang dipraktekkan oleh “pada umumnya” gereja-gereja yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun