[caption caption="sumber: dokumen pribadi/Agus Nur Rokhim"][/caption]
.............
”Abang ada lighter?”
Suara Roshid, pemuda umur 30-an yang biasa dipanggil Bang Roshid, membuyarkan konsentrasiku, saat ku sedang asyik “memainkan” sudu skimdan semen.
“Ada Bang, ini," jawabku sambil menyerahkan korek api dari saku celana jeanku.
“Abang tak nak hisap ke?” tanya Bang Roshid sambil mengulurkan bungkus rokok merk Sury* sewaktu mengembalikan korek api kepadaku.
“Tidak Bang, terimakasih, ini rokokku masih banyak” jawabku sembari tersenyum menerima korek api.
“Huhh... ini hari banyak susah lah Bang, saye same Kerani suruh skim itu balkoni, ooiiyyo banyak penat, pasal mesti nak cun-cun kita punya almini, uang 1 ringgit pun tak boleh lalu tu almini, kalau Kerani cek itu tak cantik, masih nampak gelombang, mesti kitorang suruh skim balik.”
Bang Roshid menceritakan situasi kerjanya kepadaku menggunakan bahasa Melayu sambil menghembus-hembuskan asap rokok dari bibirnya yang nampak kering dan menghitam.
“Dibuat santai saja Bang, kerani kan tidak menyuruh kerja cepat-cepat khusus untuk bangunan contoh ini, yang penting bagus dan rata,” jawabku sembari mengaduk adonan semen yang mulai agak mengeras.
*******
Sekilas, tidak ada yang aneh dengan percakapan di atas. Percakapan antara saya dengan Bang Roshid, sama-sama pekerja bangunan dan bernaung di bawah perusahaan yang sama. Hanya saja kami berasal dari daerah yang tidak sama, sehingga ada perbedaan bahasa daerah di antara kami.
Apa yang aneh?
Apa yang hilang?
Ada 'sesuatu' yang hilang, ada yang tak sesuai dengan nurani.
Kami berdua sama-sama Warga Negara Indonesia (WNI) tetapi kenapa Bang Roshid lebih memilih menggunakan bahasa Melayu?
Kenapa tidak mau menggunakan bahasa Indonesia ketika bercakap-cakap dengan sesama orang Indonesia?
Rata-rata, memang seperti itulah kenyataannya. Setiap kali saya ngobrol dengan saudara setanah air yang berbeda suku, berbeda bahasa daerah, sebagian besar mereka lebih memilih menggunakan bahasa Malaysia daripada bahasa Indonesia.
Pernah ada salah satu post di grup Facebook saya protes karena sesama warga Indonesia tidak memakai bahasa Indonesia.
Mereka jawab,“di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”
Yaa... Saya pun setuju dengan hal itu untuk budaya, sopan santun, tingkah laku, serta bahasa percakapan jika memang sedang berbicara dengan warga tempatan (warga asli Malaysia) atau warga negara lain (Bangladesh, Vietnam, Myanmar, Pakistan,dll)
Namun, kenapa saat kita berbicara dengan sesama orang Indonesia tidak mau menggunakan bahasa Indonesia?
Kenapa harus kita "lupakan” bahasa Indonesia kita?
Sudah padamkah semangat sumpah pemuda?
"Berbahasa satu, Bahasa Indonesia!"
Ayo tetap kita lestarikan!
Kita tetap berbahasa Indonesia dengan sesama orang Indonesia di manapun berada.
Jangan sampai Bahasa Indonesia kita hilang di tapak binaan.
.
****
@Mencari Bahasa Indonesia-ku di tapak binaan.
........................
Celoteh BMI Malaysia, 19/03/2016
Karya: Agus Nur Rokhim
*)Catatan kaki:
tapak binaan: lokasi bangunan
lighter : korek api
sudu skim : alat semacam skop untuk mengaduk semen
kerani : staff kantor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H