“Tapi, jangan
sampai kamu masuk angin yaaa...”
Yes!
“Tenang ayahku
sayang.. Lihat! Chika kan udah pakai mantel tebal dan bawa payung lagi.”
Tanggapnya sigap dengan wajah gembira. “Kalau begitu, Chika berangkat dulu
ya..”
“Hati-hati, Chik.”
Ujar Ibunya sedikit khawatir.
“Iya, Ma..”
Taman Abadas..
Tak memerlukan waktu yang lama untuk menemukan si cowok hujan karena
tempat duduk si cowok hujan sudah sangat dihapal Chika. Dia sekarang tinggal
berjalan lurus dari tempatnya berdiri dan belok ke kanan sedikit dan ada! Si
cowok hujan itu sudah ada di tempatnya. Payung hitam pekat sedikit menghalangi
wajah manisnya.
Chika menoleh ke
arah bangku yang terletak tak jauh dari bangku si cowok hujan. Meskipun basah,
dia tak mempedulikannya. Dia hanya ingin berada dekat dengan si cowok hujan.
Dia tersenyum memandangi langit yang masih memuncratkan air.
Mereka diam. Hanya
suara hujan yang menemani keduanya. Waktu terasa begitu lambat dan setiap
detiknya sangat berharga. Hujan, sampaikan bahwa aku ada disini...
**
“Sampai
kapan kau hanya akan terus memandangi dia?”
“Jika suatu saat dia menghilang,
apakah kau tidak akan menyesal karena tak pernah bilang padanya soal
perasaanmu?”
“Jika aku jadi kau, aku akan bicara
dengannya dan menyatakan semua perasaanku padanya sebelum aku menyesal.”
IN">Itulah kalimat Naya-sahabat Chika, yang sampai sekarang terus terngiang
dibenakknya. Naya benar! Aku harus bicara
dengannya. Aku ingin bicara dengan cowok hujan. Tegasnya dalam hati sembari
dia berlari menerobos hujan yang sore itu sedang derasnya. Namun, hal itu tak
menjadi penghalang untuknya terus berlari.
Sementara itu...
“Kau
mau kemana?” Tanya Anna, kakaknya Ryu begitu melihat adiknya ini telah rapi
dengan mantel tebalnya dan payung.