1. Konvensi Internasional yang berkaitan dengan uang palsu, yang terdapat di Undang-Undang Republik Indoneisa Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai pemberantasan uang palsu beserta protokol
2. Konvensi Internasional yang berkaitan dengan laut bebas dan hukum laut di dalamnya menyangkut Tindak Pidana pembajakan laut yang terdapat di Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations convention on the law of the sea (Konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut)
3. Konvensi Internasional mengenai kejahatan penerbangan yang terdapat di Konveksi Tokyo 1963 dan disahkan menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971
4. Konvensi Internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkotika yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, 1988)
Contoh keberlakuan penerapan asas universal yaitu pemalsuan mata atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang berkaitan dengan kepemilikan negara asing, tujuan untuk melindungi kepentingan internasional.Â
Penerapan asas ini, mengingat Bangsa Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional yang meliputi uang palsu, laut bebas dan laut yang didalamnya mengatur tindak pidana pembajakan laut, kejahtan terhadap sarana atau prasarana penerbangan, dan pembrantasan dan psikotropika. Selain ada penerapan univesality plus dan conditional universility pada kasus CCR v Rumsfiel.
Menurut Stahn (2019), dampak yurisdiksi universal ini terjadi dekolisasi proses peradilan, yang pada intinya proses peradilan di bawah ke tempat yang jauh dari wilayah di mana kejahatan internasional terjadi. Ini menunjukan  negara (KUHP baru) ini, melindungi kepentingan nasional universal, sebagai komitmen Indonesia  sebagai masyarakat internasional, dan implementasi dokrin jus cognes.Â
Jus cognes yaitu hukum yang sifatnya memaksa dan harus dipatuhi oleh seluruh negara atau erga omnes (BHPN, 2015), dan bukan lagi terbatas pada perompakan laut. Hal seperti contoh Peradilan Spanyol tahun 2000 tidak berhak menerapkan yurisdiksi universal pada kejahatan kemanusian di negara Guantemala, namun 2005 MK Spansyol membatalkan keputusan tersebut (Takeuchi, 2014).
Namun dalam penerapan asas ini menurut Moeljatno, ada perkecualian yang diakui seperti kepala negara beserta keluarga dari negara sahabat, melekat hak eksteritorial, duta besar asing beserta keluarga, anak buah kapal perang asing yang berkunjung ke suatu negara, tentan negara asing yang ada didalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu.
Selain itu harus dilihat asas ne bis in idem, seseorang tidak dapat diadili lagi atas perbuatan yang sama (Pasal 76 KUHP lama). Hukum Internasional pengatur asas ini, berlaku untuk sistem peradilan dalam negeri saja (United Nations Human Right, Commite, 2007). Contoh penerapan asas ini pada Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma MPL, yang menyebutkan tidak diperbolehkan untuk mengadili pelaku kejahatan internasional jika, pelaku tersebut sudah diadili oleh peradilan nasional atas perbuatan yang sama.
Asas universal sebagai upaya perlindungan secara hukum internasional, tidak dapat dilakukan secara mutlak, ada perkecualian yang harus dihormati, apabila sudah di proses hukum oleh negara lain.