Hi, everyone.
Apa kabar? Tetap sehat dan bahagia, kan.
Sabtu lalu Komunitas Traveler Kompasiana sudah mengajak kalian jalan-jalan ke Osnabrueck, Jerman, di mana Dian Yusvita Intarini, seorang staff Dala Institute for Environment and Society telah banyak berbagi informasi tentang bedanya pertanian dan petani Jerman dengan di tanah air Indonesia.
Oh, ya, kabarnya kota itu sebesar Bogor. Hanya saja, penduduk di sana lebih sedikit. Mau pindah ke sana? Lumayan dekat dengan Ukraina, sih....
Nah, Dian yang lulusan UGM Jurusan Kehutanan, lalu meneruskan studi agriculture ke Jerman dan Belanda ini tinggal di daerah pedesaan yang masih banyak lahan, di mana para petaninya juga masih rajin.Â
Betapa tidak, mereka ini mendapat perhatian besar dari pemerintah setempat. Misalnya saja, pengurangan pajak. Lumayan, meringankan beban hidup yang standarnya lebih tinggi dari Indonesia. Pajak di Jerman bisa sampai 30% dari gaji. Banyak, ya. Jadi keringanan pemda ini, menjadi satu fasilitas bagi petani yang harus dimanfaatkan.
Dikatakan ibu tiga anak itu, Jerman memiliki tiga jenis petani. Pertama yang masih memegang adat alias klasik. Kedua adalah Demeter, yakni mereka yang membuat pupuk sendiri. Ketiga, mereka yang tidak memegang adat atau modern.
Di sana beberapa petani mengolah lahannya sebagai organic farming. Yaitu dengan produk Bioland, Demeter, tanpa pestisida dan solawi (Solidaritaet Land Wirtschaft).Â
Solawi itu memungkinkan petani mendapat bantuan relawan seperti tetangga dan keluarga yang menyukai bercocok tanam, untuk mengolah lahan. Mereka akan diberi kompensasi hasil bumi. Misalnya, sekotak sayuran dan buah-buahan. Jadi nggak digaji, lho. Atas dasar senang dan hobi. Tapi ternyata, mereka bahagia.
Perlu diketahui, penduduk yang besar dan hidup di daerah pertanian, disinyalir memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari yang ada di kota. Misalnya lebih happy dan lebih sehat. Apalagi anak-anaknya. Bagaimana nggak, hasil bumi dari lokal, nggak ada banyak polusi seperti di kota dan aman-tentram-damai. Mau coba?