Pembukaan dari Zoom sendiri unik karena ada menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mars UNESA secara online. Yang berada di luar negeri rasanya dada mau terbang karena ada garudanya.
Acara dilanjutkan dengan sambutan ketua Koteka yang diwakili sekretaris, Gana Stegmann. Antara lain disebutkan bahwa kerja sama ini semoga menginspirasi para mahasiswa khususnya yang belajar bahasa Jerman dan jurnalistik untuk menggapai mimpi mengikuti jejak mas Hendra, menjadi jurnalis internasional.Â
Kerja sama ini memang pertama kali tapi bukan yang terakhir, karena segera akan ada kerja sama lagi mendatangkan jurnalis asing dari Jerman yang bekerja di media cetak Jerman tanggal 30 Oktober 2021 nanti.
Diteruskan sambutan kedua dari wakil dekan bidang akademik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Ibu Dr. Mintowati, M.Pd.Â
Ibu Dr. Mintowati mengucapkan terima kasih kepada Koteka yang menggagas acara dan terima kasih tak terhingga kepada panitia dari UNESA. Diharapkan kegiatan Zoom ini akan membawa manfaat bagi semua.Â
Mas Hendra dalam presentasi tentang Bonn membuat kita sedikit membayangkan bagaimana cantiknya desa yang dulu pernah jadi ibu kota negara Jerman, sebelum akhirnya kini dipindah ke Berlin. Dengan fasilitas berskala internasional dan banyak masyarakatnya mampu berbahasa Inggris, membuat Bonn unik.Â
Tentang jurnalistik, mas Hendra menegaskan bahwa banyak perbedaan menjadi jurnalis di Indonesia dibandingkan dengan Jerman. Salah satunya adalah, tidak ada budaya amplop di Jerman. Yang ada adalah para jurnalis mendapat support seperti alat dan data yang dibutuhkan.Â
Lantas setiap pemilik media, yang notabene adalah yang memberikan modal untuk hidup, belum tentu boleh mengintimidasi para jurnalisnya.Â
Artinya kalau penanam saham sebuah rumah sakit, dia tidak boleh memeriksa pasien, tidak boleh menyuntik karena sudah ada yang ditugasi untuk itu. Demikian pula dengan media. Sudah ada wartawan dan editor. Merekalah yang bertanggung-jawab.Â
Ada lagi yang menarik, ternyata gaji jurnalis di media Jerman bukan didasarkan pada jenis kelamin tapi karena posisinya manajerial, misalnya.Â
Atau bagi penyiar yang wanita, bisa saja gajinya lebih tinggi dari penyiar yang laki karena konon, banyak yang tertarik untuk menonton. Tapi itu bukan semata-mata membedakan bahwa gaji karena gender tapi karena profit yang diberikan SDM untuk media.Â