Mohon tunggu...
Koteka Kompasiana
Koteka Kompasiana Mohon Tunggu... Administrasi - Komunitas Traveler Kompasiana

KOTeKA (Komunitas Traveler Kompasiana) Selalu dibawa kemana saja dan tiada gantinya. | Koteka adalah komunitas yang didesain untuk membebaskan jiwa-jiwa merdeka. | Anda bebas menuliskan apapun yang berkaitan dengan serba-serbi traveling. | Terbentuk: 20 April 2015, Founder: Pepih Nugraha, Co-founder: Wardah Fajri, Nanang Diyanto, Dhave Danang, Olive Bendon, Gana Stegmann, Arif Lukman Hakim, Isjet, Ella | Segeralah join FB @KOTeka (Komunitas Traveler Kompasiana) Twitter@kotekasiana, Instagram @kotekasiana dan like fanspage-nya. Senang jika menulis di Kompasiana, memberi tag Koteka dan Kotekasiana di tiap tulisan anda! E-mail: Kotekakompasiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Event Komunitas Online Artikel Utama

Ngobrol Bareng Difabel yang Hobi Menulis dan Travel Secara Virtual, Yuk!

9 Agustus 2021   20:20 Diperbarui: 10 Agustus 2021   15:41 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hello, semuanya. Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, kan.

Sabtu lalu Komunitas Traveler Kompasiana sudah mengundang bapak Sudirman, seniman reog Ponorogo yang sangat mencintai dan melestarikan tarian khas daerah tempat ia dilahirkan. 

Didampingi pak Agus dan pak Warno, serta berlatar belakang "dadak merak" si barong reog Ponorogo yang tingginya 3 meter dan butuh kadigdayan untuk menyungginya, pak Dirman banyak bercerita tentang pengalamannya mulai dari kecil menarikan tarian tersebut. Profesor Nursila di Jakarta juga turut hadir untuk berbagi tentang pengalamannya meneliti reog Ponorogo. 

"Ngelmu iku kelakone kanti laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani. Setya budya pangekese, dur angkara." Setiap ilmu itu akan didapatkan jika sudah dipelajari. Untuk mempelajari sebuah ilmu, butuh usaha dan jalan khusus untuk memiliki kemampuan yang diinginkan tersebut. 

Kini, pak Dirman merasa bangga berhasil membuat tarian ini sebagai muatan lokal di sekolah, anak-anak pun sampai diuji kemampuannya lengkap dengan perkakas dan baju adat yang semakin membuat karisma tarian mencorong. 

Ini bagai tetesan air sejuk di padang pasir, di mana banyak generasi muda yang kurang perhatian terhadap budaya sendiri dan terlena dengan budaya negara lain. 

Kalau terus begitu, siapa yang akan melestarikan budaya negeri sendiri? Seperti kita ketahui, banyak bule atau warga asing yang justru tekun belajar kesenian kita. Jangan sampai kita harus belajar ke luar negeri untuk mempelajari budaya tanah air tercinta Indonesia Raya.

Semoga suatu hari nanti pak Dirman dan atau reog ini mendunia. Meskipun ada cerita miring tentang pembakaran reog di Malaysia dan Filipina, yang membuat dada serasa sesak tetapi pasti ada harapan baru di masa mendatang.

Sudah bukan rahasia lagi kalau reog ini dikategorikan sebagai tarian magis. Meskipun hanya barong dan 2 penari jatilan itu sudah boleh disebut sebagai reog. Jadi nggak perlu serombongan segambreng seperti yang sering terlihat di media massa. Itu kata pak Dirman.

Rasanya juga bangga melihat video rekaman duet pak Dirman dengan eyang Didik Nini Towok dalam zoom ke-47 yang dimoderatori oleh Ony Jamhari, mengingat moderator Nanang Diyanto sedang ada di ruang operasi untuk menangani pasien Covid19. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Event Komunitas Online Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun